Wednesday, 1 July 2015

Mahasiswa: 3 Perempuan, 2 Negara dan 1 Hari (1)

Setelah bangun shubuh, saya melihat ada tiga panggilan tak terjawab di handphone, tertulis atas nama Miskah. Mungkin dia telah menelepon ketika saya ada di toilet, ada urusan hajat manusia di pagi hari. Saya menunggu untuk panggilan ke empatnya, dan biasanya orang yang telah menelpon berkali - kali menandakan orang tersebut sangat memerlukan bantuan. Dan terbukti, tak berselang beberapa lama dia kembali menelepon.

"Ain free tak hari ini?" dia menanyakan, "jom, pi Thailand! (Ayo pergi ke Thailand)"

Saya kira, saya telah mendengar pertanyaan yang salah, dan mencoba mengulangi pertanyaan dia kembali. Dan dia mengulangi pertanyaan yang sama.

"Oh ya, tak busy sangat. Ada apa Miskah?", menanyakan dengan suara yang serak setelah bangun tidur.

"Ini kita mau urus dokumen imigrasi, lagi ada masalah ini! Kita pergi bersama Tuan Arina dan Khadijah", dia menjelaskan.

Saya masih heran, ada urusan apa sama saya? Saya juga bukan warga Thailand. Dan saya kembali menanyakan.

"So? Kenapa saya di ajak?"

"Iya, Aba dan abang tak akan bagi apabila kita pergi ke Thailand semuanya perempuan! Harus ada seorang laki - laki yang menemani kita".

"Kenapa tidak boleh? Itu kan negaramu sendiri. Kenapa mesti takut?", saya ingin mengorek penjelasan dia.

"Karena akhir - akhir ini ada penculikan yang melibatkan perempuan - perempuan di Thailand untuk diperjual-belikan. Jadi itulah alasan kenapa saya ajak kamu".

Hanya ada satu kata dalam pikiranku saat itu, aneh. Memangnya kalau saya ikut, apa tidak ada ancaman penculikan? Apa karena ada seorang pria di samping mereka? Seorang pria warga asing, yang tidak tahu arah kemana tujuan dijadikan tameng buat feminisme mereka. Saya hanya tersenyum, setelah dia menjelaskan alasannya tadi.

"Oh begitu alasannya. Baik, saya akan menemani kalian. Kapan kita akan pergi?"

"Hari ini pukul 9 pagi!!. Taxi akan datang sekitar 8.30", jawab dia.

"HAH?? serius kamu? Kenapa mendadak sekali kamu memberitahuku?", saya tercengang ,"Baiklah, saya akan menyiapkan diri, nanti kamu hubungi saya lagi apabila sudah siap".


Thailand, negara dengan penduduk sekitar 66 juta dan mayoritas penduduknya adalah penganut Buddha. Saya tidak punya persepsi lain, selain apa yang saya dapatkan waktu di Sekolah Dasar (SD). Negeri dengan sebutan Negeri Gajah Putih, Negeri Seribu Pagoda dan mempunyai raja bernama Raja Bhumibol Adulyadej serta bermata uang Baht. Ilmu dasar itu saya tahu ketika ada tugas akhir untuk merangkum negara - negara ASEAN dengan lisan.

Belum lagi berita tentang bom - bom yang semakin sentar terdengar di Thailand Selatan, antara Muslimin minoritas Pattani dengan tentara pemerintahan. Dilema antara ingin membantu ketiga teman saya itu dengan berita bom dari media yang tersebar.

Saya sangat suka dengan program salah satu tv di Indonesia, Backpacker, Yulika Satria Daya sebagai presenternya di salah satu acaranya menampilkan jalur merah di Thailand Selatan. Pikiran saya bercampur aduk saat itu. Tetapi, saya harus memenuhi janji saya pada mereka.
Kami melewati area yang dinamakan duty-free shop. Imigrasi Thailand sudah terlihat

Pos pemeriksaan sisi Malaysia

Gerbang Imigrasi

Thailand dengan kampus hanya ditempuh sekitar kurang dari 30 menit untuk sampai diperbatasan kedua negara dengan taxi. Persepsi dari media tersebut sudah melekat di pikiran.

Kita memasuki checkpoint pertama, sebelum keluar Malaysia. Tenda checkpoint Tentera Diraja Malaysia lengkap beserta senjata laras panjangnya di sebelah kiri memeriksa kelengkapan dokumen kita.

Taxi boleh mengantarkan kita sampai dengan gerbang imigrasi Thailand yang berjarak sekitar 2-4 km setelah keluar imigrasi Malaysia. Di antara kedua negara ini ada tempat dimana duty-free shop berlaku. Mereka menjual berbagai barang dengan bebas pajak. Tetap saja, meskipun bebas pajak, harga yang ditawarkan juga hampir sama. Kebanyakan yang terkenal dijual disini adalah jenis - jenis miras, coklat, dll.



Bersambung. . .
Share:

0 comments:

Post a Comment