Setelah hampir 7 jam menyusuri
jalanan ibu kota, papan “Selamat Datang di Selangor” sudah nampak di kaca bis
sebelah kanan. Jarum jam di arloji menunjuk angka 18.07 waktu Malaysia.
Saya yang dari awal sudah
berselimut jaket menikmati tidurku dibawah naungan suhu dingin di dalam bis.
Mata ini hanya mengintip sesekali di jendela, antara kemalasan dan keletihan di
perjalanan serta akibat perubahan jadwal tidur di malam hari. Melihat suasana
khas jalanan ibu kota yang identik dengan kemacetan yang parah.
Gedung pencakar langit KL (Skyscrapers) |
Suasana jalanan di sore hari |
Kadang terlintas pemikiran tentang
jalanan sebesar dan sebagus itu masih terkendala macet. Bagaimana nasib negara
sendiri yang jalanannya tidak sebesar dan sebagus itu? Tidak ada yang mau
disalahkan. Penyedia kredit menyalahkan infrastruktur yang “katanya” kurang,
staff dan menteri tersindir menyalahkan penyedia kredit yang menyediakan
cicilan murah sehingga membludaknya mobil dan motor.
Tidak akan ada habisnya jika saling
menyalahkan tanpa menyediakan solusi. Kenapa tidak menyediakan transportasi masal?
Mungkin saja terkendala dana dan kurangnya investor serta yang paling penting
adalah mengubah kebiasaan orang “pribumi” untuk menggunakan transportasi masal
itu.
Secepatnya saya menghubungi teman –
teman dari kampus lama yang tinggal di Kuala Lumpur. Dengan kapasitas baterai
yang sudah berada di zona merah, menghidupkan layanan internet saat ini adalah
bencana. BBM dan aplikasi jejaring sosial serta kontak teman – teman berada di
handphone itu. Kebetulan bus yang saya tumpangi tidak tersedia slot charging
dibawahnya. Aduh, harus berpacu dengan waktu.
Sebelumnya kawan saya dari Comoros,
Nidhoil sudah menawarkan untuk tinggal di apartementnya. Teman saya yang lain
Yazid dari Aceh dan Wahyu dari Palembang juga mengundang untuk tinggal di
tempatnya. Mereka bertiga kuliah di satu kampus APU (Asian Pacific University).
Tetapi dari semuanya tidak ada yang
menjawab ataupun membalas pesan yang saya kirim. Ternyata, mereka masih ada
kelas kuliah. Ada dua orang dari Surabaya yang sama – sama berangkat di tahun
2011 lalu, Heni dan Ervin, tetapi mereka berada di kampus lain yang agak jauh
dengan kampus APU.
Saya hanya menghubungi Heni untuk
menanyakan dimana letak warung khas makanan Indonesia di Stasiun KL Sentral.
Hari itu, saya berencana ingin berbuka puasa khas makanan Indonesia sebelum ke
Indonesia.
Bis yang saya tumpangi semakin
mendekat di terminal Puduraya dimana ini adalah destinasi terakhir. Namun, saya
belum menerima pesan dari ketiga teman saya itu.
Barisan sopir taksi sudah menunggu
para penumpang di pintu bis. Saya merasa seperti artis Hollywood yang selalu
ditanya kemana saya akan pergi. Paling tidak, dua sopir taksi akan mengawal
saya beberapa langkah menanyakan pertanyaan itu. Setelah dua itu pergi, dua
akan datang lagi. Kebanyakan dari sopir itu adalah etnis India daripada etnis
Melayu dan Cina.
“Kawan saya sudah jemput abang”,
jawabku singkat.
Bedanya disini, para sopir tidak
memaksa seperti di terminal Purabaya. Saran saya bagi traveler pengguna taksi
untuk selalu tahu kemana akan pergi. Jangan lupa sebelumnya untuk selalu
membaca panduan di internet dan membuka Google maps. Mereka biasanya memasang
harga yang berlipat untuk trek dekat, karena mereka berkeliling sebelum ke
tempat tujuan. Dan jangan malu untuk bertanya kepada petugas.
Saya memutuskan untuk sedikit
merebahkan badan di dalam terminal sambil menunggu teman saya itu membalas
pesan. Saya ingat file peta KL yang diberikan oleh teman saya Nuredi. Masjid
Jamek, masjid bersejarah dan terdekat denganku saat itu. Kira – kira 1 km
berjalan kaki menyusuri jalanan KL di sore hari. Berteman hanya dengan tas
backpack, bel bis kota dan debu yang menerjang.
Sudah terlihat panitia masjid
sedang mempersiapkan makanan untuk buka puasa. Para jamaah berdatangan.
Mayoritas yang datang adalah para ekspatriat dari Bangladesh, India dan para
pekerja lainnya.
Ada kejadian unik ketika salah satu
orang Melayu sebelah saya bertanya kepada dua orang Bangladesh depan saya.
“Apakah kamu muslim?”, tanya orang
Melayu sebelah.
“Pastinya laah, pertanyaan macam apa
itu?” salah satu orang Bangladesh itu membalas dengan angkuh.
Saya mencoba untuk mengklarifikasi
pertanyaan orang Melayu sebelah dari pada terjadi hal yang tidak diinginkan. Di
satu sisi, dua orang Bangladesh itu mukanya sudah masam.
“Bukan begitu adek, kebanyakan dari
mereka itu kadang ada yang tidak tahu kalau makanan ini untuk muslim yang
sedang berpuasa”, jelas orang Melayu tersebut.
“Tapi mereka kan dari Bangladesh
dan hampir semua orang sana adalah muslim!”. Setelah itu saya menjelaskan
kepada dua orang Bangladesh untuk mendinginkan kepala mereka yang sudah agak
hangat.
Kata orang sebelah, menu hari ini
adalah nasi ujang panas dimana kombinasi gulai ayam, potongan nanas + kurma dan
nasi berwarna - warni terlintas seperti pelangi. Sebelum buka puasa, pembawa
acara mengadakan ngabuburit kuis kepada para jamaah dan berhadiah RM 1 – RM 5.
Barokallah!
Malam itu saya harus ke KL sentral
untuk menuju ke Serdang menggunakan KTM, Kereta api Tanah Melayu. Yazid
menjemput di stasiun serdang dan saya akan tinggal di tempatnya.
KL Sentral |
Nasi Ujang Panas |
Dari kiri Usman (Thailand), Nidhoil (Comoros), dan Roza (Indonesia, Aceh) |
Jam di Dataran Merdeka |
0 comments:
Post a Comment