Wednesday, 29 July 2015

Mahasiswa: Ibu Kota

Setelah hampir 7 jam menyusuri jalanan ibu kota, papan “Selamat Datang di Selangor” sudah nampak di kaca bis sebelah kanan. Jarum jam di arloji menunjuk angka 18.07 waktu Malaysia.

Gedung pencakar langit KL (Skyscrapers)
Saya yang dari awal sudah berselimut jaket menikmati tidurku dibawah naungan suhu dingin di dalam bis. Mata ini hanya mengintip sesekali di jendela, antara kemalasan dan keletihan di perjalanan serta akibat perubahan jadwal tidur di malam hari. Melihat suasana khas jalanan ibu kota yang identik dengan kemacetan yang parah.

Suasana jalanan di sore hari

Kadang terlintas pemikiran tentang jalanan sebesar dan sebagus itu masih terkendala macet. Bagaimana nasib negara sendiri yang jalanannya tidak sebesar dan sebagus itu? Tidak ada yang mau disalahkan. Penyedia kredit menyalahkan infrastruktur yang “katanya” kurang, staff dan menteri tersindir menyalahkan penyedia kredit yang menyediakan cicilan murah sehingga membludaknya mobil dan motor.

Tidak akan ada habisnya jika saling menyalahkan tanpa menyediakan solusi. Kenapa tidak menyediakan transportasi masal? Mungkin saja terkendala dana dan kurangnya investor serta yang paling penting adalah mengubah kebiasaan orang “pribumi” untuk menggunakan transportasi masal itu.

Secepatnya saya menghubungi teman – teman dari kampus lama yang tinggal di Kuala Lumpur. Dengan kapasitas baterai yang sudah berada di zona merah, menghidupkan layanan internet saat ini adalah bencana. BBM dan aplikasi jejaring sosial serta kontak teman – teman berada di handphone itu. Kebetulan bus yang saya tumpangi tidak tersedia slot charging dibawahnya. Aduh, harus berpacu dengan waktu.

Sebelumnya kawan saya dari Comoros, Nidhoil sudah menawarkan untuk tinggal di apartementnya. Teman saya yang lain Yazid dari Aceh dan Wahyu dari Palembang juga mengundang untuk tinggal di tempatnya. Mereka bertiga kuliah di satu kampus APU (Asian Pacific University).

Tetapi dari semuanya tidak ada yang menjawab ataupun membalas pesan yang saya kirim. Ternyata, mereka masih ada kelas kuliah. Ada dua orang dari Surabaya yang sama – sama berangkat di tahun 2011 lalu, Heni dan Ervin, tetapi mereka berada di kampus lain yang agak jauh dengan kampus APU.

Saya hanya menghubungi Heni untuk menanyakan dimana letak warung khas makanan Indonesia di Stasiun KL Sentral. Hari itu, saya berencana ingin berbuka puasa khas makanan Indonesia sebelum ke Indonesia.

Bis yang saya tumpangi semakin mendekat di terminal Puduraya dimana ini adalah destinasi terakhir. Namun, saya belum menerima pesan dari ketiga teman saya itu.

Barisan sopir taksi sudah menunggu para penumpang di pintu bis. Saya merasa seperti artis Hollywood yang selalu ditanya kemana saya akan pergi. Paling tidak, dua sopir taksi akan mengawal saya beberapa langkah menanyakan pertanyaan itu. Setelah dua itu pergi, dua akan datang lagi. Kebanyakan dari sopir itu adalah etnis India daripada etnis Melayu dan Cina.
“Kawan saya sudah jemput abang”, jawabku singkat.

Bedanya disini, para sopir tidak memaksa seperti di terminal Purabaya. Saran saya bagi traveler pengguna taksi untuk selalu tahu kemana akan pergi. Jangan lupa sebelumnya untuk selalu membaca panduan di internet dan membuka Google maps. Mereka biasanya memasang harga yang berlipat untuk trek dekat, karena mereka berkeliling sebelum ke tempat tujuan. Dan jangan malu untuk bertanya kepada petugas.

Saya memutuskan untuk sedikit merebahkan badan di dalam terminal sambil menunggu teman saya itu membalas pesan. Saya ingat file peta KL yang diberikan oleh teman saya Nuredi. Masjid Jamek, masjid bersejarah dan terdekat denganku saat itu. Kira – kira 1 km berjalan kaki menyusuri jalanan KL di sore hari. Berteman hanya dengan tas backpack, bel bis kota dan debu yang menerjang.

Sudah terlihat panitia masjid sedang mempersiapkan makanan untuk buka puasa. Para jamaah berdatangan. Mayoritas yang datang adalah para ekspatriat dari Bangladesh, India dan para pekerja lainnya.
Dua jamaah dari Bangladesh

Ada kejadian unik ketika salah satu orang Melayu sebelah saya bertanya kepada dua orang Bangladesh depan saya.
“Apakah kamu muslim?”, tanya orang Melayu sebelah.
“Pastinya laah, pertanyaan macam apa itu?” salah satu orang Bangladesh itu membalas dengan angkuh.

Saya mencoba untuk mengklarifikasi pertanyaan orang Melayu sebelah dari pada terjadi hal yang tidak diinginkan. Di satu sisi, dua orang Bangladesh itu mukanya sudah masam.

“Bukan begitu adek, kebanyakan dari mereka itu kadang ada yang tidak tahu kalau makanan ini untuk muslim yang sedang berpuasa”, jelas orang Melayu tersebut.

“Tapi mereka kan dari Bangladesh dan hampir semua orang sana adalah muslim!”. Setelah itu saya menjelaskan kepada dua orang Bangladesh untuk mendinginkan kepala mereka yang sudah agak hangat.

Kata orang sebelah, menu hari ini adalah nasi ujang panas dimana kombinasi gulai ayam, potongan nanas + kurma dan nasi berwarna - warni terlintas seperti pelangi. Sebelum buka puasa, pembawa acara mengadakan ngabuburit kuis kepada para jamaah dan berhadiah RM 1 – RM 5. Barokallah!

Malam itu saya harus ke KL sentral untuk menuju ke Serdang menggunakan KTM, Kereta api Tanah Melayu. Yazid menjemput di stasiun serdang dan saya akan tinggal di tempatnya.
KL Sentral






Nasi Ujang Panas




Dari kiri Usman (Thailand), Nidhoil (Comoros), dan Roza (Indonesia, Aceh)
Jam di Dataran Merdeka

Share:

0 comments:

Post a Comment