Thursday, 2 July 2015

Mahasiswa: 3 Perempuan, 2 Negara dan 1 Hari (2)

Antrian imigrasi untuk masuk ke Thailand yang memanjang sejak pagi.





Sesampainya di imigrasi, saya terkejut melihat antrian yang sudah sangat panjang. Mayoritas mereka yang ingin masuk ke Thailand adalah para perantau yang ada di Malaysia. Karena hari itu adalah hari Sabtu, sangat wajar apabila antrian imigrasi sangat panjang.

Sebagian dari mereka adalah para pelancong yang melintasi Singapore-Malaysia-Thailand. Sebagian etnis dari cina Singapore menggunakan bus 3 negara yang sudah menunggu mereka di depan pintu kedatangan.

Saya memutar otak untuk bisa masuk ke Thailand dengan cepat. Saya melihat ada loket yang kosong, dan itu tertulis "Untuk Warga Thailand". Saya berpura - pura untuk bertanya dimana saya mendapatkan kartu tanda masuk. Kartu tersebut harus diisi untuk informasi terkait kunjungan kita di Thailand.

Setelah saya mendapat kartu tersebut, saya pun mengisi semua identitas terkait. Namun, ada satu yang membuat saya berhenti mengisi, yaitu "Dimana saya akan tinggal?". Seketika, teman saya Miskah membantu mengisikan alamat yang setelah saya tanyakan itu adalah alamat rumah dia. Saya tidak peduli rumah siapapun itu, yang paling penting adalah untuk masuk Thailand yang sudah di depan mata.

Karena loket tersebut adalah untuk warga Thailand, ketiga teman saya itu langsung antri di loket. Saya yang 'bule' pun ikut mereka, dan semoga petugas tidak memarahi saya nanti.

"Swadikap!" sapa wanita berusia sekitar 50 tahunan dan saya pun membalasnya

Mungkin karena aksen yang berbeda, ibu tersebut langsung mengerutkan dahi sebagai bentuk keheranan kenapa saya ada di loket ini. Dan saya pun senyum dengan memberikan paspor Indonesia saya.

"You are Indonesian? kamu orang Indonesia?" jawab dia,"Tunjukan uang cash minimal RM 2000 ringgit."

Saya pun terkejut mendengar perintah ibu tersebut. "What for madam? untuk apa madam?" saya menanyakan.

"Ini sudah regulasi Thailand untuk orang Indonesia dengan menunjukan uang tersebut sebelum masuk Thailand", ibu itu menjelaskan dengan bahasa Inggris yang berantakan.

Mungkin maksud dari ibu tersebut bukan untuk orang Indonesia saja, tetapi untuk para pelancong dari negara - negara ASEAN. Tidak usah khawatir, hanya menunjukkan saja. Dan kita sudah mendapat visa selama sebulan melancong.

Saya pun kebingungan, bagaimana mengatasi masalah ini, ditambah bahasa ibu tersebut yang sudah berantakan. Saya pun menyimpulkan secara tersirat dari setiap penjelasan yang dia jelaskan. Teman saya Miskah yang berada di belakang saya secara spontan menjelaskan kepada ibu tersebut dengan bahasa Thai. Saya hanya melihat mereka di depan loket saling beragumen dengan bahasa 'alien'.

"Ah, Student? Pelajar?" ibu tersebut langsung melihat saya.
"Yes!" saya tersenyum ramah.
"Berikan kartu pelajarmu kalau kamu memang pelajar!" dia tersenyum dan saya memberikan kartu pelajar.
"Baiklah, kamu berdiri di situ dan menghadap ke kamera. Oh ya! Jangan lupa untuk mengangkat kartu pelajarmu itu juga"

Terkadang kita memang tidak harus mengikuti birokrasi yang berlaku. Birokrasi terkadang membuat sesuatu yang mudah menjadi sulit. Tetapi, kita harus tahu konteksnya mengikuti birokrasi yang berjalan supaya 'aman'.

Kenapa kita harus menunjukan RM 2000? Itu untuk menjamin bahwa kita yang datang sebagai pelancong memberikan pendapatan bagi negara dengan uang yang kita bawa, bukan datang untuk menyusahkan negara tujuan. Dan untuk itulah fungsi dari negara, menjaga kedaulatannya. Yang perlu kamu lakukan ketika di posisi ini adalah tetap tenang dan tidak panik.

"Pai! Selamat Datang di Thailand!" Ibu itu tersenyum
"Kop Khun kah! terima kasih" saya membalasnya

Akhirnya !

Miskah dan Tuan
Mereka baru tersadar kalau hari ini adalah hari sabtu, yang tentunya tujuan utama kita adalah kantor imigrasi di Songkla tutup. Pilihan alternatifnya adalah jalan - jalan ke Hatyai.

Transportasi disekitar perbatasan adalah dengan menggunakan van. Tarif ke Hatyai sekitar 480 Baht (RM 5 = Rp. 18,000) dan perjalanan ditempuh sekitar 1 jam.

Kita mampir dirumah makan sekitar perbatasan dan penukaran uang Baht juga ada disampingnya. Mereka belum sarapan pagi ini. Untuk saya, 2 lembar roti dan 1 telur sudah berada di perut yang sudah saya makan ketika di asrama. Saya sudah terbiasa tidak makan banyak ketika bepergian, untuk menanggulangi "panggilan alam" yang secara tiba - tiba.

Kita mengunjungi 3 tempat di Hatyai, yaitu Central Festival Mall, pasar tradisional, dan GreenWay. Mall mungkin sudah banyak tersebar di Surabaya, yang berbeda di dalamnya hanya bahasa dan makanan. Makanan disini susah untuk mencari kehalalan-nya. Kita sebelum membeli, harus mencari gambar halal terlebih dahulu. Kita memutuskan untuk makan di pasar tradisional yang penjualnya adalah orang muslim dari Narathiwat, salah satu provinsi di Thailand.

Malam hari setelah isya', kita kembali ke kampus. Ada yang menarik ketika saya sholat di sekitar perbatasan. Surau atau musholla terdapat di luar loket, berarti saya sudah meninggalkan Thailand setelah menerima stempel keluar. Toiletnya ada di area dalam Thailand.

Setelah sholat, saya baru ingat tas kecil saya tertinggal di toilet dan pastinya saya harus masuk Thailand lagi melalui jalan kecil disamping loket. Dan tidak ada petugas yang berjaga disana. Mungkin inikah jalur tikus yang biasanya digunakan orang untuk berbuat jahat?

Sarapan pagi ala Thai

Van ini yang akan mengantarkan kita ke Hatyai


Di dalam van plus musik yang stereo.
Khadijah, Tuan dan Miskah

Tuk-tuk, kendaraan pickup yang mirip angkot

Tuk-Tuk


Yen Tafow, Makanan ini rasanya mirip bakso dan sedikit asin.
Makan siang

yang khas dari restaurant Thai, 4 bumbu ini selalu ada.

Lorong

Potret kehidupan di jembatan penyebrangan di Hatyai

Pasar tradisional

Suasana luar

Ibu penjual sayuran

Suasana pasar di sore hari

Bejalan di depan masjid


Suasana jalanan Hatyai di sore hari
Uang Baht yang tersisa

Greenway, sejenis pasar bekas di Thailand

Salah satu tempat beribadah umat Buddha


Share:

0 comments:

Post a Comment