Kantor CIAC |
Saya juga ingin menanyakan cara memperbaharui pinjaman secara online kepada petugas counter. Karena sistem database perpustakaan dan sistem database portal kampus sangat berbeda. Entah mengapa sistem ini tidak menjadi satu. Petugas kaunter juga nampak sangat kebingungan ketika memasukkan username dan password saya, karena saya memiliki 2 paspor; paspor lama dan paspor baru. Berulangkali petugas kaunter menelepon petugas bagian IT.
Username dan password biasanya ada di kartu mahasiswa kita. Username yang digunakan adalah nomer id kita, dan password yang digunakan adalah nomer passport. Sudah terlihat jelas disitu jika kita kehilangan id, maka orang lain bisa memasuki portal kita.
Lebih dari 40 menit ibu petugas kaunter menjelaskan secara pelan - pelan cara memperbaharui buku secara online. Waktu yang sangat lumayan untuk mendinginkan kepalaku di suhu yang lebih rendah. Perbedaan suhu antara diluar dan didalam sangat ekstrim, tidak dapat dipungkiri kebanyakan dari kita langsung terkena "pilek kilat" setelah keluar dari perpustakaan ini.
Saya teringat dengan urusan visa di kantor CIAC (Center for International Affairs and Cooperation), kantor sebelah perpustakaan kampus. Masalah visa dan segala urusan Internasional berada di kantor ini. Minggu kemarin, visa saya sudah mencapai 90% setelah saya cek di website EMGS (Education Malaysia Global Services).
Kantor yang kecil di lantai 2 dengan ruang tunggu sekitar 2x4 meter, tak jarang banyaknya mahasiswa yang datang ke tempat ini harus menunggu diluar yang telah disediakan kursi tambahan. Sudah berulang kali saya bolak - balik ke tempat ini menanyakan kejelasan visa saya.
Ketika saya datang di tempat ini, ruang dalam sudah dipenuhi banyak orang. Jadi, saya memutuskan untuk menunggu dibawah dengan melihat nomer antrian di layar.
"Bagaimana visa kamu? Visa kamu sudah jadi? Sudah ke CIAC?", pertanyaan inilah yang sering muncul antara mahasiswa Internasional.
Setiap orang yang mendengar kata CIAC, khususnya orang internasional, dipikiran mereka selalu buruk. Seakan tempat tersebut adalah tempat yang banyak salah. Saya terkadang tersenyum mendengar kata yang keluar dari teman - teman setelah menanyakan tentang CIAC.
Tempat itu memang bukan tempat memohon segala urusan masalah antara Tuhan dan hambaNya, seperti Masjid dan Gereja atau tempat ibadah lain. Tempat dimana orang memohon mati - matian untuk selembar stiker kecil yang akan ditempelkan di salah satu halaman paspor kita untuk tinggal di negara ini setahun lebih lama.
Tak jarang kalimat - kalimat 'kotor' keluar dari berbagai bahasa berada di tempat ini. Merubah orang sabar menjadi pemarah, orang putih memerah, dan orang hitam membiru. Dari intonasi suara yang lembut hingga terdengar seperti speaker dolby stereo yang sudah jebol. Pengulangan pertanyaan dan jawaban sering terdengar disini. Mungkin tempat ini memang harus di ruwat,istilah orang jawa untuk membuang kotoran dari dalam diri.
Apa ada yang salah di tempat ini?
Ya! Visa tak kunjung keluar!
Petugas kaunter hanya dua, dan lebih sering hanya satu. Seorang pemuda sabar berumur 20 tahunan yang selalu menerima aduan dan cacian. Membayangkan populasi manusia yang berasal dari Internasional di kampus ini lumayan banyak dengan dilayani dengan 2 orang pemuda - pemudi yang mental sudah terbentuk seperti baja.
Mungkin sebelum CIAC membuka lowongan pekerjaan untuk siapa yang akan bekerja di tempat ini, salah satunya harus bermental baja dan harus bisa mengulang jawaban, maaf saya belum menerima paspor dari imigrasi.
Saya terkadang tidak mau ikut - ikutan menyalahkan terus staff kantor tersebut. Menyalahkan dengan emosi tentu tidak menyelesaikan masalah ini. Pernah membaca salah satu buku, psikologi manusia yang selalu dimarahi dan ditekan akan selalu bertahan. Saya mencoba melembutkan pertanyaan saya kepada dia.
"Abang, kapan visa saya jadi? Ini sudah 1 minggu 'katanya' di imigrasi, saya harap besok bisa keluar visanya", saya melembutkan suara, terlihat jelas muka dia yang sudah lelah terkena serangan fajar dari pagi.
"Oh iya, coba kamu datang besok minggu ya, karena ada staff kami yang ambil dari sana. Siapa tahu visa kamu keluar", abang itu memastikan.
Bulan Juli dan Agustus adalah musim liburan di kampus. Tentunya, sebagian mahasiswa Internasional yang ingin menghabiskan masa liburan dan hari raya Idul fitri ingin bersama keluarga di kampung halaman.
Kebanyakan dari mereka yang sempat ragu kapan keluar visanya, bisa mencabut proses itu sementara, dan melanjutkan ketika mereka sampai di Malaysia di bulan September. Karena kebanyakan dari mereka sudah membeli tiket pesawat, jadi melanjutkan proses itu nanti adalah pilihan terbaik. Saya tetap memilih bersabar menunggu visa ini keluar.
Terkadang orang staff tersebut memang teledor. Mereka bilang proses sedang berjalan, tetapi mereka tidak sedikit pun menyentuhnya. Bagaimana bisa keluar, kalau orang ini tidak memproses datanya?
Berbagai jurus tipuan saling dilancarkan dari kedua belah pihak. Staff berargumen kalau saat ini sedang diproses, dan mahasiswa beragumen akan pulang malam nanti dengan menunjukkan tiket pesawat yang sudah dimodifikasi. Dan tak jarang jurus yang mahasiswa lancarkan itu berhasil membuat staff tersebut kalah, dan mengeluarkan surat ampuh untuk diserahkan ke Imigrasi yang jadi hanya dalam 2 jam.
Ada juga pasangan dari negara yang bertetangga di Asia Tengah yang sedang asyik terkena syndrom "The Power of Love" membela pasangannya yang sudah jelas itu salah yang sudah melewati izin tinggalnya, masih mengancam akan pergi langsung ke Imigrasi tanpa melalui kantor tersebut. Benar - benar bodoh menurutku.
Bagaimanapun juga kita harus mematuhi tempat negara kita tinggal, ini bukan negara kita. Berbeda aturan? jelaslah berbeda dan kita harus mematuhi. Seperti tamu menghormati tuan rumahnya. Ini hanya visa Malaysia, bagaimana cerita Agustinus Wibowo seorang traveler yang berjuang mendapat visa Pakistan seperti memasang taruhan di meja judi?
your Articles are really amazing.
ReplyDeleteGreat post indeed! I will surely keep these in my mind!
commercial cleaning brisbane