Thursday, 2 July 2015

Mahasiswa: UUM Family Day A142

Tari Rantak dari Padang

Persatuan Pelajar Indonesia Universiti Utara Malaysia (PPI-UUM) kembali menghadirkan kegiatan dua kali dalam setahun, yaitu Family Day. Kegiatan ini diadakan untuk menyambut para mahasiswa baru kemasukan sesi 2014 semester 2 (A142) di kampus kita tercinta ini, bukan hanya untuk mengenal lingkungan kampus tetapi untuk mengenal satu sama lain, antara mahasiswa baru dan mahasiswa lama serta dosen yang sudah lama menetap.

Kegiatan yang diadakan pada Sabtu malam kemarin (14/3/2015) berlangsung sangat meriah. Dengan kehadiran tamu khusus dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Penang, para dosen, Presiden UUM International Student Society (ISS) Joe Sandy, serta para tamu internasional dari berbagai negara yang berkenan hadir di Dewan Tan Sri Othman (DTSO).

Acara di buka dengan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” sebagai pembangkit rasa nasionalisme di antara WNI yang hadir dan hymne kampus UUM “Biru Warna” untuk memberikan kesan dan pesan serta amanat kepada para mahasiswa UUM. Dilanjutkan dengan sambutan ketua pelaksana Family Day, Silim dan ketua PPI UUM Akita Arum Verselita.
Ketua pelaksana Family Day A142, Silim
Bapak dari KJRI Penang menyampaikan beberapa poin penting kepada para tamu yang hadir. KJRI Penang mempunyai dua tugas utama yaitu memberikan perlindungan kepada para WNI dan hubungan diplomasi dibidang ekonomi. Dengan banyaknya jumlah pelajar Indonesia di UUM ini yang hampir seperenam jumlah pelajar internasional, beliau juga menekankan untuk menunjukkan kepribadian yang tinggi terhadap pelajar Internasional dan lokal yang lain. Dan tak lupa untuk menjaga amanah orang tua, diri sendiri, agama serta nusa dan bangsa. Beliau juga tak lupa berpesan untuk pandai – pandai menyesuaikan diri sendiri di negeri orang dan jangan lupa untuk terus beprestasi di bidang akademik dan non-akademik.

Acara dilanjutkan dengan pelantikan Pengurus Harian (PH) PPI UUM periode satu tahun ke depan, semoga para PH yang baru dapat menjalankan tugas dan amanahnya untuk para warga Indonesia di UUM.

Tema acara tahun ini adalah Batik. Acara ini tidak lengkap apabila tidak ada malam kebudayaan, karena budaya adalah hal yang sangat melekat di hati orang Indonesia. Acara malam juga kemarin diisi oleh penampilan band akustik harmoni dan band beast menyanyikan lagu khas Indonesia “Yamko Rambe Yamko” dan “Kangen” serta lagu Indonesia lainnya. Untuk tarian, para mahasiswa menampilan “Gending Sriwijaya” dari Palembang sebagai tarian penyambut tamu dan tari “Rantak” dari Padang.

Batik
Acara ditutup dengan penampilan mahasiswa baru A142 dan pemberian hadiah pemenang outbound. Semoga dengan berakhirnya acara kemarin, para mahasiswa saling mengenal satu sama lain. Seperti kata Mattie Stepanek, “Persatuan adalah kekuatan, ketika ada kerja sama tim dan kolaborasi, hal indah dapat dicapai".

link foto ada disini
Share:

Mahasiswa: 3 Perempuan, 2 Negara dan 1 Hari (2)

Antrian imigrasi untuk masuk ke Thailand yang memanjang sejak pagi.





Sesampainya di imigrasi, saya terkejut melihat antrian yang sudah sangat panjang. Mayoritas mereka yang ingin masuk ke Thailand adalah para perantau yang ada di Malaysia. Karena hari itu adalah hari Sabtu, sangat wajar apabila antrian imigrasi sangat panjang.

Sebagian dari mereka adalah para pelancong yang melintasi Singapore-Malaysia-Thailand. Sebagian etnis dari cina Singapore menggunakan bus 3 negara yang sudah menunggu mereka di depan pintu kedatangan.

Saya memutar otak untuk bisa masuk ke Thailand dengan cepat. Saya melihat ada loket yang kosong, dan itu tertulis "Untuk Warga Thailand". Saya berpura - pura untuk bertanya dimana saya mendapatkan kartu tanda masuk. Kartu tersebut harus diisi untuk informasi terkait kunjungan kita di Thailand.

Setelah saya mendapat kartu tersebut, saya pun mengisi semua identitas terkait. Namun, ada satu yang membuat saya berhenti mengisi, yaitu "Dimana saya akan tinggal?". Seketika, teman saya Miskah membantu mengisikan alamat yang setelah saya tanyakan itu adalah alamat rumah dia. Saya tidak peduli rumah siapapun itu, yang paling penting adalah untuk masuk Thailand yang sudah di depan mata.

Karena loket tersebut adalah untuk warga Thailand, ketiga teman saya itu langsung antri di loket. Saya yang 'bule' pun ikut mereka, dan semoga petugas tidak memarahi saya nanti.

"Swadikap!" sapa wanita berusia sekitar 50 tahunan dan saya pun membalasnya

Mungkin karena aksen yang berbeda, ibu tersebut langsung mengerutkan dahi sebagai bentuk keheranan kenapa saya ada di loket ini. Dan saya pun senyum dengan memberikan paspor Indonesia saya.

"You are Indonesian? kamu orang Indonesia?" jawab dia,"Tunjukan uang cash minimal RM 2000 ringgit."

Saya pun terkejut mendengar perintah ibu tersebut. "What for madam? untuk apa madam?" saya menanyakan.

"Ini sudah regulasi Thailand untuk orang Indonesia dengan menunjukan uang tersebut sebelum masuk Thailand", ibu itu menjelaskan dengan bahasa Inggris yang berantakan.

Mungkin maksud dari ibu tersebut bukan untuk orang Indonesia saja, tetapi untuk para pelancong dari negara - negara ASEAN. Tidak usah khawatir, hanya menunjukkan saja. Dan kita sudah mendapat visa selama sebulan melancong.

Saya pun kebingungan, bagaimana mengatasi masalah ini, ditambah bahasa ibu tersebut yang sudah berantakan. Saya pun menyimpulkan secara tersirat dari setiap penjelasan yang dia jelaskan. Teman saya Miskah yang berada di belakang saya secara spontan menjelaskan kepada ibu tersebut dengan bahasa Thai. Saya hanya melihat mereka di depan loket saling beragumen dengan bahasa 'alien'.

"Ah, Student? Pelajar?" ibu tersebut langsung melihat saya.
"Yes!" saya tersenyum ramah.
"Berikan kartu pelajarmu kalau kamu memang pelajar!" dia tersenyum dan saya memberikan kartu pelajar.
"Baiklah, kamu berdiri di situ dan menghadap ke kamera. Oh ya! Jangan lupa untuk mengangkat kartu pelajarmu itu juga"

Terkadang kita memang tidak harus mengikuti birokrasi yang berlaku. Birokrasi terkadang membuat sesuatu yang mudah menjadi sulit. Tetapi, kita harus tahu konteksnya mengikuti birokrasi yang berjalan supaya 'aman'.

Kenapa kita harus menunjukan RM 2000? Itu untuk menjamin bahwa kita yang datang sebagai pelancong memberikan pendapatan bagi negara dengan uang yang kita bawa, bukan datang untuk menyusahkan negara tujuan. Dan untuk itulah fungsi dari negara, menjaga kedaulatannya. Yang perlu kamu lakukan ketika di posisi ini adalah tetap tenang dan tidak panik.

"Pai! Selamat Datang di Thailand!" Ibu itu tersenyum
"Kop Khun kah! terima kasih" saya membalasnya

Akhirnya !

Miskah dan Tuan
Mereka baru tersadar kalau hari ini adalah hari sabtu, yang tentunya tujuan utama kita adalah kantor imigrasi di Songkla tutup. Pilihan alternatifnya adalah jalan - jalan ke Hatyai.

Transportasi disekitar perbatasan adalah dengan menggunakan van. Tarif ke Hatyai sekitar 480 Baht (RM 5 = Rp. 18,000) dan perjalanan ditempuh sekitar 1 jam.

Kita mampir dirumah makan sekitar perbatasan dan penukaran uang Baht juga ada disampingnya. Mereka belum sarapan pagi ini. Untuk saya, 2 lembar roti dan 1 telur sudah berada di perut yang sudah saya makan ketika di asrama. Saya sudah terbiasa tidak makan banyak ketika bepergian, untuk menanggulangi "panggilan alam" yang secara tiba - tiba.

Kita mengunjungi 3 tempat di Hatyai, yaitu Central Festival Mall, pasar tradisional, dan GreenWay. Mall mungkin sudah banyak tersebar di Surabaya, yang berbeda di dalamnya hanya bahasa dan makanan. Makanan disini susah untuk mencari kehalalan-nya. Kita sebelum membeli, harus mencari gambar halal terlebih dahulu. Kita memutuskan untuk makan di pasar tradisional yang penjualnya adalah orang muslim dari Narathiwat, salah satu provinsi di Thailand.

Malam hari setelah isya', kita kembali ke kampus. Ada yang menarik ketika saya sholat di sekitar perbatasan. Surau atau musholla terdapat di luar loket, berarti saya sudah meninggalkan Thailand setelah menerima stempel keluar. Toiletnya ada di area dalam Thailand.

Setelah sholat, saya baru ingat tas kecil saya tertinggal di toilet dan pastinya saya harus masuk Thailand lagi melalui jalan kecil disamping loket. Dan tidak ada petugas yang berjaga disana. Mungkin inikah jalur tikus yang biasanya digunakan orang untuk berbuat jahat?

Sarapan pagi ala Thai

Van ini yang akan mengantarkan kita ke Hatyai


Di dalam van plus musik yang stereo.
Khadijah, Tuan dan Miskah

Tuk-tuk, kendaraan pickup yang mirip angkot

Tuk-Tuk


Yen Tafow, Makanan ini rasanya mirip bakso dan sedikit asin.
Makan siang

yang khas dari restaurant Thai, 4 bumbu ini selalu ada.

Lorong

Potret kehidupan di jembatan penyebrangan di Hatyai

Pasar tradisional

Suasana luar

Ibu penjual sayuran

Suasana pasar di sore hari

Bejalan di depan masjid


Suasana jalanan Hatyai di sore hari
Uang Baht yang tersisa

Greenway, sejenis pasar bekas di Thailand

Salah satu tempat beribadah umat Buddha


Share:

Wednesday, 1 July 2015

Mahasiswa: 3 Perempuan, 2 Negara dan 1 Hari (1)

Setelah bangun shubuh, saya melihat ada tiga panggilan tak terjawab di handphone, tertulis atas nama Miskah. Mungkin dia telah menelepon ketika saya ada di toilet, ada urusan hajat manusia di pagi hari. Saya menunggu untuk panggilan ke empatnya, dan biasanya orang yang telah menelpon berkali - kali menandakan orang tersebut sangat memerlukan bantuan. Dan terbukti, tak berselang beberapa lama dia kembali menelepon.

"Ain free tak hari ini?" dia menanyakan, "jom, pi Thailand! (Ayo pergi ke Thailand)"

Saya kira, saya telah mendengar pertanyaan yang salah, dan mencoba mengulangi pertanyaan dia kembali. Dan dia mengulangi pertanyaan yang sama.

"Oh ya, tak busy sangat. Ada apa Miskah?", menanyakan dengan suara yang serak setelah bangun tidur.

"Ini kita mau urus dokumen imigrasi, lagi ada masalah ini! Kita pergi bersama Tuan Arina dan Khadijah", dia menjelaskan.

Saya masih heran, ada urusan apa sama saya? Saya juga bukan warga Thailand. Dan saya kembali menanyakan.

"So? Kenapa saya di ajak?"

"Iya, Aba dan abang tak akan bagi apabila kita pergi ke Thailand semuanya perempuan! Harus ada seorang laki - laki yang menemani kita".

"Kenapa tidak boleh? Itu kan negaramu sendiri. Kenapa mesti takut?", saya ingin mengorek penjelasan dia.

"Karena akhir - akhir ini ada penculikan yang melibatkan perempuan - perempuan di Thailand untuk diperjual-belikan. Jadi itulah alasan kenapa saya ajak kamu".

Hanya ada satu kata dalam pikiranku saat itu, aneh. Memangnya kalau saya ikut, apa tidak ada ancaman penculikan? Apa karena ada seorang pria di samping mereka? Seorang pria warga asing, yang tidak tahu arah kemana tujuan dijadikan tameng buat feminisme mereka. Saya hanya tersenyum, setelah dia menjelaskan alasannya tadi.

"Oh begitu alasannya. Baik, saya akan menemani kalian. Kapan kita akan pergi?"

"Hari ini pukul 9 pagi!!. Taxi akan datang sekitar 8.30", jawab dia.

"HAH?? serius kamu? Kenapa mendadak sekali kamu memberitahuku?", saya tercengang ,"Baiklah, saya akan menyiapkan diri, nanti kamu hubungi saya lagi apabila sudah siap".


Thailand, negara dengan penduduk sekitar 66 juta dan mayoritas penduduknya adalah penganut Buddha. Saya tidak punya persepsi lain, selain apa yang saya dapatkan waktu di Sekolah Dasar (SD). Negeri dengan sebutan Negeri Gajah Putih, Negeri Seribu Pagoda dan mempunyai raja bernama Raja Bhumibol Adulyadej serta bermata uang Baht. Ilmu dasar itu saya tahu ketika ada tugas akhir untuk merangkum negara - negara ASEAN dengan lisan.

Belum lagi berita tentang bom - bom yang semakin sentar terdengar di Thailand Selatan, antara Muslimin minoritas Pattani dengan tentara pemerintahan. Dilema antara ingin membantu ketiga teman saya itu dengan berita bom dari media yang tersebar.

Saya sangat suka dengan program salah satu tv di Indonesia, Backpacker, Yulika Satria Daya sebagai presenternya di salah satu acaranya menampilkan jalur merah di Thailand Selatan. Pikiran saya bercampur aduk saat itu. Tetapi, saya harus memenuhi janji saya pada mereka.
Kami melewati area yang dinamakan duty-free shop. Imigrasi Thailand sudah terlihat

Pos pemeriksaan sisi Malaysia

Gerbang Imigrasi

Thailand dengan kampus hanya ditempuh sekitar kurang dari 30 menit untuk sampai diperbatasan kedua negara dengan taxi. Persepsi dari media tersebut sudah melekat di pikiran.

Kita memasuki checkpoint pertama, sebelum keluar Malaysia. Tenda checkpoint Tentera Diraja Malaysia lengkap beserta senjata laras panjangnya di sebelah kiri memeriksa kelengkapan dokumen kita.

Taxi boleh mengantarkan kita sampai dengan gerbang imigrasi Thailand yang berjarak sekitar 2-4 km setelah keluar imigrasi Malaysia. Di antara kedua negara ini ada tempat dimana duty-free shop berlaku. Mereka menjual berbagai barang dengan bebas pajak. Tetap saja, meskipun bebas pajak, harga yang ditawarkan juga hampir sama. Kebanyakan yang terkenal dijual disini adalah jenis - jenis miras, coklat, dll.



Bersambung. . .
Share:

Monday, 29 June 2015

Mahasiswa: Hanya Sekedar Obrolan Malam

Setelah keadaan perut yang sudah dipenuhi sama menu buka puasa yang disediakan masjid, kebiasaan perilaku manusia yang akan terjadi adalah mengantuk.

Malam itu, setelah sholat maghrib, saya langsung menuju beberapa shof ke belakang. Sholat sunnah pun tidak, saya langsung merebahkan badan ke lantai, tepat dibawah kipas yang sangat menyejukan kepala.

Entah ini efek kekenyangan atau efek bulan puasa yang membuatku mengubah jam tidur. Bisa juga karena siang itu saya baru menyelesaikan ujian terakhirku, dan itu membuatku tidak bisa tidur malam sebelumnya karena membaca materi ujian.

Tiba - tiba teman saya dari Somali yang tinggal di Saudi bernama Gido menghampiriku, dan merebahkan badan disampingku.

"ah, Im really tired bro, I dont know why"
"Yah bro, me too. I cant sit even. So, what's up?" jawabku

"Alhmdulillah good Zul, How about you? When is your last exam?"
"Alhmdulillah, me too. I've finished today!" saya menjawab dengan mata sayup.

Dua teman saya yang lain menghampiri setelah imam mengakhiri doanya. Mereka adalah Zaw Zaw Aung dari Myanmar, Ilham dari Padang, Indonesia dan Abdallah dari Eritrea.

Setelah menanyakan kapan pulang ke rumah karena kampus saat ini adalah musim liburan. Saya membuka obrolan dengan isu yang berkembang saat ini.

"hei kalian, pasti kalian tahu tentang berita 'rainbow'? tanyaku melengos.
"haha Zul, kamu membuka topik pembicaraan ini?" jawab Abdallah, "Saya pun tidak tahu ada apa di dunia saat ini. Saya yakin ini kiamat sudah sangat dekat sekali!" dia menekankan

Tak lain dan tak mungkin, berita 'rainbow' adalah berita tentang diakuinya pernikahan sesama jenis di AS. Dan itu bermula ketika pemerintahan setempat mengetuk palu hukum tadi malam, bahwa pernikahan sejenis bukan suatu tindakan yang salah.

"Ini adalah langkah awal bagi barat bahwa mereka juga akan melegalkan pernikahan dengan anak kecil (pedofil). Mungkin juga mereka akan meresmikan pernikahan dengan adek atau kakak kandungnya !!" dia beragumen.

"Astaghfirullah, bagaimana bisa mereka menikahi sejenis? saya tidak habis pikir setelah melihat berita tadi malam. Dan saya juga sedang membaca tadi sebelum kalian membahas masalah ini" Gido menggeleng kepala sambil tidur dilantai.

"Come on! itulah kenapa ada alasan Allah menciptakan Adam (Adam) dan Hawa (Eve), bukan Adam dan Steve!" kata Abdallah. "Sudahlah kita ini di dalam masjid, sebaiknya tidak usah membahas ini lebih dalam".

kalimat Abdallah membuat kami semua tertawa.

statement di akun facebook Abdallah

Malam tadi juga berlangsung tiga peristiwa berdarah di belahan dunia; bom bunuh diri di masjid syiah Kuwait, penembakan di pesisir pantai Tunisia, dan pemenggalan kepala di Perancis.

Saya juga pun kurang tahu, kenapa masalah - masalah tersebut selalu disangkut pautkan sama yang namanya agama. Mungkin mereka 'sedikit' salah mengartikan makna yang terkandung dalam kitab Al-quran. Istilah jawanya 'kesandung'. Dan kadang mereka menyalahgunakan konteks masa lalu dan sekarang. Salah satu contohnya adalah perdagangan manusia (budak).

Tak selang beberapa lama, Gido mentraktir kami semua minum teh khas Somali tepat di kedai sebelah masjid. Mau menolak sungkan, lumayan sebagai vitamin mata yang sudah agak merah dan bengkak. Ditambah lagi perut ini sedikit berkurang kapasitasnya dan harus diisi lagi.

Setelah menunggu sekitar 15 menit, teh pun tersaji. Teh disediakan sangat panas, dan itu memang khas timur tengah.

Dari aroma bau sudah tercium ada rempah - rempah. Saya tidak tahu pasti, kemungkinan ada kombinasi jintan sama kayu manis. Dilihat dari penampilan agak sedikit mirip sama teh susu khas Malaysia.

Dikarenakan waktu isya' sudah tiba dan harus tarawih, kami harus sedikit lebih cepat menghabiskan minuman itu. Obrolan tadi hanya sebatas obrolan biasa yang tidak akan mengubah dunia dan seisinya.

penampilan teh Somali dan Abdallah sebagai background

Ayah membaca Alquran dan anak 'membaca' hp

Share:

Saturday, 27 June 2015

Mahasiswa: Puasa di Tahun 2015

Mungkin puasa tahun ini bukan puasa yang pertama saya di Malaysia sebagai mahasiswa rantau. Puasa ini adalah puasa ke 3 saya di Malaysia; sekali di Albukhary International Universty (AIU) dan 2 kali puasa di Universiti Utara Malaysia (UUM).

'Gaya Ramadhan di Albukhary International University, Alor Setar'

Memang ada perbedaan mendasar waktu menjalani puasa di antara dua kampus tersebut. AIU pada dasarnya adalah kampus dengan nuansa International dari 80% mahasiswanya tersebar dari negara - negara dari seluruh dunia, dan sisanya hanya 20% mahasiswa asli malaysia.

Lain halnya dengan UUM, yang hampir bisa dilihat dari kasat mata, semua warganya hampir mayoritas orang melayu; cina melayu, cina India, dan melayu asli. Dan orang Indonesia sendiri pun, bisa jadi masuk kategori melayu. Mungkin karena kampus ini adalah kampus negeri (milik kerajaan) seperti halnya ITS, Unair, UI, dll. Maka dari itu, orang internasional sepertinya telah ditelan sama populasi orang lokal.

Waktu di kampus AIU dulu, sahur dan berbuka puasa sudah disediakan sama kantin kampus. Menu sahur dan berbuka biasanya bermacam-macam menu dari belahan dunia per 2 minggu. Ada yang khas timur tengah, Asia tengah, Eropa timur, semenanjung India dan pastinya masakan khas Malaysia.

rendaman bawang merah untuk martabak

Kebanyakan saya tidak tahu nama makanan yang disediakan, saya cuman tahu rasa dan sekedar tanya ini masakan dari mana?. Seingatku, ada martabak dengan 87% bawang dan sisanya daging (martabak telurnya sangat berbeda dengan yang ada di surabaya). Ada lagi roti yang keras yang biasanya orang India, Uzbekistan dan Russia makan di padukan sama kuah kari berkacang (dan kari-nya pun berbeda yang ada di Surabaya).

Pernah waktu itu, teman dari Afghanistan dan Uzbekistan membuat masakan khas sana, yaitu Pavlov. Masakan mereka sangat identik karena bertetangga, dan mungkin cuman berbeda nama saja. Mungkin kalau orang Surabaya menyebutnya nasi kebuli. Hampir mirip sama kebuli, karena nasinya berbumbu +daging kambing/sapi.  Tetapi ini beda, mereka goreng dagingnya sampe sekitar 1 jam + ditambah wortel sebelum mereka tambah bumbu khas dan beras. Waktu itu saya lihat cara pembuatannya, dan secara spontan saya menanyakan:

"Seriously bro?? You wanna burn that meat? (Serius bro? itu gosong loh dagingnya)" aku menanyakan.

 "Hey, is it your traditional food or my food? (ini masakanmu atau masakanku?)" dia menyerang sambil tersenyum.
Pavlov, masakan dari Uzbek


Pernah saya menanyakan hanya tentang kacangnya itu yang aneh, karena mungkin saya tidak pernah makan. Teman saya dari Nepal sangat menyukainya, mereka bilang,"aku kangen sama kari buatan ibuku, tetapi setidaknya saya sudah makan ini, cukup mengobati rasa rinduku".

 Dan satu lagi yang unik ketika menghabiskan ramadhan disini adalah membangunkan para mahasiswa di asrama. Berawal dari salah satu teman Malaysia saya bernama Azlan, dia mempunyai ide untuk membangunkan para mahasiswa yang biasanya tidur 'molor'. Ide ini sangat berkesan untuk para mahasiswa asing yang ikut bergabung menabuh barang apapun untuk menghasilkan suara, dimana hal ini tidak berlaku di negaranya.


'Ramadhan di UUM'

Lain halnya suasana di AiU, di UUM kurang lebih sama dengan apa yang ada di Alor Setar. Mungkin karena letak geografis dari kampus AiU yang berada di ibu kota negara bagian Kedah, yang identik dengan keramaian. Di UUM, letaknya berada di perbatasan Malaysia-Thailand, dan masuk pedalaman bekas tambang timah (menurut sejarah yang saya baca). Karena letaknya yang nampaknya terisolasi dari dunia luar, UUM sepertinya menjadi kota baru di sekitar Sintok. Ada istilah kalau Sintok tidak punya UUM, mungkin Sintok adalah kota mati.

Biasanya kami mengandalkan ilmu 'mencari takjil gratis' yang lokasinya di masjid kampus. Sudah biasa bagi kami sebagai mahasiswa rantau, konsep ini harus kami terapkan. Hitung - hitung sedikit mengirit biaya makan. Kami hanya membeli makanan pada waktu sahur. Dan terkadang sahur, kita juga dapat makanan dari masjid setelah selesai sholat isya'.

Beginilah suasana ramadhan tahun 2015 di kampus saya.
Jalan menuju masjid

ke arah asrama

Jalan menuju masjid

Huda dan saya menyantab sahur, sahabat lulusan gontor dari Bekasi

menu sahur, ayam merah + telur orak arik

Masjid Sultan Badlishah, UUM

Suasana dalam masjid

Antri berbuka puasa

Suasana berbuka bersama

Suasana berbuka bersama (1)
Adzan adalah hal yang sangat dinantikan

Suasana berbuka bersama (2)

*Ditulis di kamar asrama TNB 2A216, menunggu saat berbuka puasa dan pulang dari UAS terakhir semester ini.
Share:

Friday, 19 June 2015

Ayo Berbahasa Indonesia !!


Mungkin artikel ini adalah artikel pertama saya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Setelah hampir semua artikel yang sudah saya tulis dengan menggunakan bahasa Inggris. Tujuan pertama membuat blog ini pada dasarnya dilandasi oleh keinginan pribadi untuk menyebarkan 'ilmu pengetahuan' ke seluruh dunia, bukan cuman berfokus audience yang ada di Indonesia. Banyak pembaca yang faham, banyak amal yang akan saya peroleh. Aaamin :)

Kenapa? Karena saya dulu 'dipaksa' membuat blog sama dosen di kampus lama yang standar bahasanya berbasis International, yaitu bahasa Inggris. Lihat saja alamat yang ada di blog ini saja masih ada 'bau' kampus lama,  AIU (Albukhary International University). Jadi itulah alasan kenapa saya menulis semua artikel dalam bahasa Inggris. Kalaupun bahasa Indonesia jadi bahasa International, saya akan menulis semua artikel saya dalam bahasa Indonesia.

Loh terus kenapa kok sekarang pakai bahasa Indonesia? Karena jiwa patriotisme dan nasionalisme saya yang tinggi serta sangat bangga sekali menjadi orang Indonesia, toh  kenapa saya tidak pakai bahasa Indonesia? Bahasa Indonesia juga bahasa yang mudah dipahami oleh orang Indonesia dan mudah dipelajari oleh orang asing.

Bercerita dalam bahasa Indonesia sangat fleksibel karena ada sebagian kata yang ada dalam bahasa kita itu tidak bisa diartikan langsung dalam bahasa Inggris. Jadi, rasanya sih ga asik kalo bercerita pengalaman dalam bahasa Inggris. Orang melayu, khususnya teman se-kampus saya, suka berbicara bahasa Indonesia kalau ketemu orang Indonesia. Meskipun, logat mereka yang agak cengkok melayu, tapi mereka mencoba menyesuaikan dengan aksen kita. hehe.

Agak aneh memang logat mereka kalau berbicara bahasa kita. Mungkin, akibat dari sinetron Indonesia yang sudah masuk Malaysia bertahun - tahun, jadi kalau ketemu kita sudah 'agak' bisa meniru dari sinetron itu. Dan begitupun dengan orang Indonesia yang suka nonton kartun yang 'botak' asal Malaysia. Yah, begitulah efek media yang sangat cepat masuk ke sistem sosial di masyarakat.

Jadi mulai hari ini, saya akan sedikit bercerita tentang kehidupan kampusku dan jalan - jalan serta pengalaman hidup dengan bahasa Indonesia. Berbahasa Indonesia yang baik itu perlu. Kalau ada pendapat yang bilang,"ga usah sok inggris loe, ngomong sama orang sendiri aja pake inggris segala". <-- menurut saya ini pendapatnya orang yang kolot. Orang Indonesia itu perlu belajar bahasa asing, supaya tidak 'dibodohi' sama orang asing. Kalau ada orang asing yang 'ngomongin' kita, kita jadi tahu apa maksut yang mereka omongin. 

Kalau kedua belah pihak setuju pakai bahasa Inggris, ya sah - sah saja sih menurutku. Mungkin mereka mau mengembangkan ilmu bahasa asing mereka. Kalau ada yang kontra, ya silahkan pakai Bahasa Indonesia.

Oh ya satu lagi, orang yang bisa bahasa Inggris juga bukan orang yang 'wah' karena kemampuan mereka dalam bahasa asing. Ingat, pemulung di Amerika saja pakai bahasa Inggris loh, jadi tidak usah berlebihan menilai orang yang bisa bahasa asing. :D

Kita semua bisa maju, kalau kita mau untuk maju. Semangat !!


ditulis di Dewan Penginapan Pelajar UUM TNB 2A216
Share:

Monday, 18 May 2015

Should students have to wear school uniforms?

      
  In today's society all students should be required to wear uniforms. The current generation of kids in school are more worried about whether what they are wearing to school is cool or not. Instead they need to be focusing on their studies. By making uniforms mandatory of a students, everyone will look the same. This will remove the notion for the younger generation that it's all about appearance. Individualism is a fundamental value in the United States. All Americans believe in the right to express their own opinion without fear of punishment. This value, however, is coming under fire in an unlikely place. The issue is school uniforms. Should public and private school students be allowed to make individual decisions about clothing, or should all students be required to wear a uniform?  I believe that students should have to wear school uniforms for three reasons.
First, wearing school uniforms would help make students’ lives simpler. They would no longer have to decide what to wear every morning, sometimes trying on outfit after outfit in an effort to choose. Uniforms would not only save time but also would eliminate the stress often associated with this chore. Uniforms being mandatory in all grade schooling would be a positive change. When students are able to pick and choose what they wear to school, there is too much room for discrimination and judgment between peers (Debate.org, 2014). A student who cannot afford to wear fashionable clothes could be ridiculed. A student who dresses provocatively will draw negative attention to themselves. A student who is heavier than other students may stand more without a uniform. Individual styles of clothing and self- expression really has no place in schooling.

Second, school uniforms influence students to act responsibly in groups and as individuals. Uniforms give students the message that school is a special place for learning. In addition, uniforms create a feeling of unity among students. For example, when students do something as a group, such as attend meetings in the auditorium or eat lunch in the cafeteria, the fact that they all wear the same uniform would create a sense of community. Even more important, statistics show the positive effects that school uniforms have on violence and truancy. According to a recent survey in Hillsborough County, Florida, incidents of school violence dropped by 50 per cent, attendance and test scores improved, and student suspensions declined approximately 30 per cent after school uniforms were introduced (Anderson, 2014).
Finally, school uniforms would help make all the students feel equal. People’s standards of living differ greatly, and some people are well-off while others are not. People sometimes forget that school is a place to get education, not to promote a “fashion show.” Implementing mandatory school uniforms would make all the students look the same regardless of their financial status. School uniforms would promote pride and help to raise the self-esteem of students who cannot afford to wear stylish clothing. There are even more advantages to wearing school uniforms in public schools in addition to those previously mentioned. It means lower costs for parents during back-to-school shopping. However, the idea that bullying might be alleviated is the leading reason why schools should implement the wearing of uniforms. The other is the fostering of school pride. Students will not lose their personality but will merely learn new ways to express themselves. (Folse, K., Solomon, E. & Muchmore-Vokoun, A, 2004)
Opponents of mandatory uniforms say that students who wear school uniforms cannot express their individuality. You can't really be you when you wear uniforms. It takes your individuality away. We need freedom.  We have to stick up for who we are, and how we do that is through our clothes. Whether we are happy, dark, or crazy, we show it, without even having to say it, through clothes. This point has some merit on the surface. However, as stated previously, school is a place to learn, not to flaunt wealth and fashion. Society must decide if individual expression through clothing is more valuable than improved educational performance. It is important to remember that school uniforms would be worn only during school hours. Students can express their individuality in the way they dress outside of the classroom.
In conclusion, I believe that there are many benefits to wearing school uniforms. I believe that they are affordable, that they reduce bullying rates in schools and that they foster a sense of equality in schools. For these reasons I believe that all students should wear uniforms.  There are many well-documented benefits to implementing mandatory school uniforms for students. Studies show that students learn better and act more responsibly when they wear uniforms. Public schools and private schools should require uniforms in order to benefit both the students and society as a whole.




References

Anderson, M. (2014, April 21). Reasons Why Schools Should or Shouldn't Use Uniforms. Retrieved from Globalpost: http://everydaylife.globalpost.com/reasons-schools-should-shouldnt-use-uniforms-16854.html
Debate.org. (2014, April 21). Should student wear uniform? Retrieved from Debate.org: http://www.debate.org/opinions/should-students-wear-school-uniforms
Folse, K., Solomon, E. & Muchmore-Vokoun, A. (2004). Great essay (2nd Edition). United States of America: Thomas Heinle .



Share: