Wednesday, 29 July 2015

Cause and Effect of Air Pollution



Air pollution is commonly a great issue now, and is something that we cannot really ignore from it. Whenever we go most of people always talk about this problem and the solution. This is proof at the moment when we step out from our door and greeted with black smog from cars that hits us directly. Reminding us, the air that we breathe everyday contains of several or more “evil-substances”. Breathing clean air is more of dream, and it is so easy for us to endlessly rant and rave about the causes of air pollution and it is ill effects, but little do we realize that each person is responsible for the situation that we face today. Generally, air pollution is caused by two factors: human-made and natural.
Human is the main control of our world and become worse nowadays. As we can see, all the problems start from human-nature that they have desire to find something new. First, gas emission of transportation and factories are the leading causes of air pollution and it contributes 60 – 70 percent pollutants in the world. The emissions combustion engines include carbon dioxide (CO2), carbon monoxide (CO), hydrocarbons (HCs), methane (CH4), particulate matter (PM), nitrogen oxides (NOx) and more than 1000 evil-compound. And it happens now in our society, everyone does not aware about that. Second thing is caused by disturbance biological system which people do is very worst instead. Because of over desire that people have to fulfil their desire, they open “green place” become bald. As we can see at the mountain, they are falling down the trees unthinkingly even nothing left. This adds to the cause of this problem so difficult to overcome because human greed.
Another cause of air pollution is caused by natural activities that produce foreign substances.  Some of people do not aware about cause of natural pollution; they think that only human can make the problem of air pollution. Air pollution from Volcanoes is one of the most important natural causes of air pollution are volcanic eruption. The most problematic gases emitted in a volcanic eruption include sulphur dioxide, carbon dioxide and hydrogen fluoride. Besides the volcanic gases, there is also volcanic ash. Volcanic ash can move hundreds to thousands of miles downwind from a volcano. Second cause by nature is forest fire; more than a hundred thousand hectares forest in the world are fires. That problem may happen because of thunderbolt attack dry trees in the summer. 
However, air pollution has big effect in our environments and societies. We can imagine what will happen in 20 years later, maybe we will not see the green place like park or we cannot breathe clean air. Spreading disease is very fast, we just regret about our nature and cannot turn back the time.
The main effect of air pollution is damage to our environment. Climate change or global warming will impact agriculture and food production around the world. Farmer has difficulties to predict when the time is rain, and when should they harvest their farm. Climate change is changing weather patterns and indirectly through changes in water and air, it can influential with our health. Evil substance which is engine waste makes respiratory disease, cardiovascular disease, throat inflammation, chest pain, and congestion.
Second effect of air pollution is migration and conflict; migration related to climate change is likely to be predominantly from rural areas in developing countries to towns and cities. Millions might be displaced by shoreline erosions, river and coastal flooding, or severe drought. Limited resources and resulting human migration could become source of political and military conflict. Low confidence in predictions of increased conflict due to climate change.
Air pollution is caused by two factors: human-made and natural. Human is the generally makes a big causes in the earth, and we cannot do anything with natural activities. Air pollution has effect mainly in global warming, health, and also societies such us: migration and conflict.
Share:

Mahasiswa: Ibu Kota

Setelah hampir 7 jam menyusuri jalanan ibu kota, papan “Selamat Datang di Selangor” sudah nampak di kaca bis sebelah kanan. Jarum jam di arloji menunjuk angka 18.07 waktu Malaysia.

Gedung pencakar langit KL (Skyscrapers)
Saya yang dari awal sudah berselimut jaket menikmati tidurku dibawah naungan suhu dingin di dalam bis. Mata ini hanya mengintip sesekali di jendela, antara kemalasan dan keletihan di perjalanan serta akibat perubahan jadwal tidur di malam hari. Melihat suasana khas jalanan ibu kota yang identik dengan kemacetan yang parah.

Suasana jalanan di sore hari

Kadang terlintas pemikiran tentang jalanan sebesar dan sebagus itu masih terkendala macet. Bagaimana nasib negara sendiri yang jalanannya tidak sebesar dan sebagus itu? Tidak ada yang mau disalahkan. Penyedia kredit menyalahkan infrastruktur yang “katanya” kurang, staff dan menteri tersindir menyalahkan penyedia kredit yang menyediakan cicilan murah sehingga membludaknya mobil dan motor.

Tidak akan ada habisnya jika saling menyalahkan tanpa menyediakan solusi. Kenapa tidak menyediakan transportasi masal? Mungkin saja terkendala dana dan kurangnya investor serta yang paling penting adalah mengubah kebiasaan orang “pribumi” untuk menggunakan transportasi masal itu.

Secepatnya saya menghubungi teman – teman dari kampus lama yang tinggal di Kuala Lumpur. Dengan kapasitas baterai yang sudah berada di zona merah, menghidupkan layanan internet saat ini adalah bencana. BBM dan aplikasi jejaring sosial serta kontak teman – teman berada di handphone itu. Kebetulan bus yang saya tumpangi tidak tersedia slot charging dibawahnya. Aduh, harus berpacu dengan waktu.

Sebelumnya kawan saya dari Comoros, Nidhoil sudah menawarkan untuk tinggal di apartementnya. Teman saya yang lain Yazid dari Aceh dan Wahyu dari Palembang juga mengundang untuk tinggal di tempatnya. Mereka bertiga kuliah di satu kampus APU (Asian Pacific University).

Tetapi dari semuanya tidak ada yang menjawab ataupun membalas pesan yang saya kirim. Ternyata, mereka masih ada kelas kuliah. Ada dua orang dari Surabaya yang sama – sama berangkat di tahun 2011 lalu, Heni dan Ervin, tetapi mereka berada di kampus lain yang agak jauh dengan kampus APU.

Saya hanya menghubungi Heni untuk menanyakan dimana letak warung khas makanan Indonesia di Stasiun KL Sentral. Hari itu, saya berencana ingin berbuka puasa khas makanan Indonesia sebelum ke Indonesia.

Bis yang saya tumpangi semakin mendekat di terminal Puduraya dimana ini adalah destinasi terakhir. Namun, saya belum menerima pesan dari ketiga teman saya itu.

Barisan sopir taksi sudah menunggu para penumpang di pintu bis. Saya merasa seperti artis Hollywood yang selalu ditanya kemana saya akan pergi. Paling tidak, dua sopir taksi akan mengawal saya beberapa langkah menanyakan pertanyaan itu. Setelah dua itu pergi, dua akan datang lagi. Kebanyakan dari sopir itu adalah etnis India daripada etnis Melayu dan Cina.
“Kawan saya sudah jemput abang”, jawabku singkat.

Bedanya disini, para sopir tidak memaksa seperti di terminal Purabaya. Saran saya bagi traveler pengguna taksi untuk selalu tahu kemana akan pergi. Jangan lupa sebelumnya untuk selalu membaca panduan di internet dan membuka Google maps. Mereka biasanya memasang harga yang berlipat untuk trek dekat, karena mereka berkeliling sebelum ke tempat tujuan. Dan jangan malu untuk bertanya kepada petugas.

Saya memutuskan untuk sedikit merebahkan badan di dalam terminal sambil menunggu teman saya itu membalas pesan. Saya ingat file peta KL yang diberikan oleh teman saya Nuredi. Masjid Jamek, masjid bersejarah dan terdekat denganku saat itu. Kira – kira 1 km berjalan kaki menyusuri jalanan KL di sore hari. Berteman hanya dengan tas backpack, bel bis kota dan debu yang menerjang.

Sudah terlihat panitia masjid sedang mempersiapkan makanan untuk buka puasa. Para jamaah berdatangan. Mayoritas yang datang adalah para ekspatriat dari Bangladesh, India dan para pekerja lainnya.
Dua jamaah dari Bangladesh

Ada kejadian unik ketika salah satu orang Melayu sebelah saya bertanya kepada dua orang Bangladesh depan saya.
“Apakah kamu muslim?”, tanya orang Melayu sebelah.
“Pastinya laah, pertanyaan macam apa itu?” salah satu orang Bangladesh itu membalas dengan angkuh.

Saya mencoba untuk mengklarifikasi pertanyaan orang Melayu sebelah dari pada terjadi hal yang tidak diinginkan. Di satu sisi, dua orang Bangladesh itu mukanya sudah masam.

“Bukan begitu adek, kebanyakan dari mereka itu kadang ada yang tidak tahu kalau makanan ini untuk muslim yang sedang berpuasa”, jelas orang Melayu tersebut.

“Tapi mereka kan dari Bangladesh dan hampir semua orang sana adalah muslim!”. Setelah itu saya menjelaskan kepada dua orang Bangladesh untuk mendinginkan kepala mereka yang sudah agak hangat.

Kata orang sebelah, menu hari ini adalah nasi ujang panas dimana kombinasi gulai ayam, potongan nanas + kurma dan nasi berwarna - warni terlintas seperti pelangi. Sebelum buka puasa, pembawa acara mengadakan ngabuburit kuis kepada para jamaah dan berhadiah RM 1 – RM 5. Barokallah!

Malam itu saya harus ke KL sentral untuk menuju ke Serdang menggunakan KTM, Kereta api Tanah Melayu. Yazid menjemput di stasiun serdang dan saya akan tinggal di tempatnya.
KL Sentral






Nasi Ujang Panas




Dari kiri Usman (Thailand), Nidhoil (Comoros), dan Roza (Indonesia, Aceh)
Jam di Dataran Merdeka

Share:

Monday, 6 July 2015

Mahasiswa: Menuju Ibu Kota

Lawang Sewu, pintu kamar asrama

Selama di bulan puasa dan di bulan ujian akhir ini, jadwal tidurku sangat berubah total. Siang menjadi malam, dan malam menjadi siang. Mungkin karena waktu disini yang serasa malam lebih pendek, atau hanya perasaanku saja.

Sholat tarawih berakhir sekitar pada pukul 22.00 dan berbuka puasa pada pukul 19.35 malam. Belajar selama 2 jam saja, saya sudah berada di hari lain. Belum lagi, buku catatan dan materi kuliah yang berlembar – lembar mengantri untuk disantap habis. Tidak ada rasa kantuk yang saya rasakan saat itu.

Sesekali, saya mengintip aplikasi browser untuk sedikit menghibur rasa jenuh karena berlembar – lembar kertas berada di atas meja. Jejaring sosial twitter yang selalu update setiap detik karena berita terbaru, facebook dengan segala curhatan warganya, dan berita lainnya dari dalam dan luar negeri menemani saya. Oh, besok siang adalah ujian terakhirku.

Tetapi saya beranggapan besok bukan ujian terakhirku. Terakhir untuk semester ini memang benar tetapi tidak untuk ujian hidup yang akan saya hadapi besok dan seterusnya. Tiga hari dari ujian itu, saya harus berkemas membersihkan kamar asrama meninggalkan kampus menuju ibu kota.

Memang setiap sesi semester berakhir, kita harus mengemas barang – barang kita dari dalam kamar asrama untuk ditempatkan di ruang penyimpanan. Tradisi ini membentuk kita untuk selalu berpikir kesekian kalinya dalam membeli barang. Berat tidaknya bagasi kita tergantung berapa banyak barang yang kita punya.

Nomaden adalah kata yang tepat untuk kita. Saya juga tidak mengetahui kemana saya akan tinggal di semester depan. Hanya Tuhan dan staff asrama yang akan menentukan. Informasi lanjutan akan berada di portal kampus.

Kehidupan berasrama memang sangat mengasyikan. Tinggal di ruangan berpenghuni 2 orang, bertetangga dengan mayoritas orang melayu, dan bertoilet luar yang memungkinkan kita berinteraksi dengan teman lain. Internet yang lumayan cepat dan listrik sudah gratis.

Menanggung masalah bersama karena ketidaktersedianya air di pagi hari dan terkadang listrik yang tiba - tiba mati sudah kami lewati. Itu adalah bencana besar buat kami. Memang tidak selalu terjadi, hanya sekali dua kali dalam setahun. Saya sangat menikmati itu.

Saya telah membeli tiket bis hari sebelumnya, dan akan berangkat pada pukul 10 pagi. Serangan insomnia telah terjadi, bukan akibat dari ‘demam panggung’ karena besok akan pergi tetapi karena pola tidur di bulan ini telah berubah. Saya memang sengaja bertahan untuk bangun sampai pukul 9 pagi. Rencana akan tidur di perjalanan.
Bus di pengisian bahan bakar.

Teman saya Huda, mengantarku berpacu dengan waktu yang mepet. ‘Serangan fajar’ juga menyerangku saat itu. Tak ada pilihan. Toilet yang layak berada di KFC seberang terminal.

“Potato wedges satu bang. Bungkus!” saya memesan.
“Hanya itu?” Staff KFC tersebut menanyakan.

Saya hanya butuh toiletmu. Kalaupun toilet ini gratis tentunya saya tidak akan membeli barangmu ini. Saya membeli karena terpaksa. Terlebih lagi saya sedang berpuasa. Huda sedang bersiap memberitahuku jika bis datang sambil bermain game COC.

Bis semakin jauh meninggalkan terminal. Seperti rancangan awal, saya tertidur pulas di kursi bis yang membawaku ke Kuala Lumpur. Melintasi mulusnya jalanan Malaysia yang entah kapan Indonesia akan sedikit berbenah, bukan hanya sekedar wacana.


(Bersambung). . .
Share:

Friday, 3 July 2015

Mahasiswa: Perantara Izin Tinggal

Kantor CIAC
Panas siang itu sangat terik. Berjalan dari kelas ke perpustakaan kampus di siang hari membuat tenggorokan ini kering serasa telah berjalan dari gurun Sahara. Botol minum di tas juga sudah habis. Kebetulan saya ingin mengembalikan 2 buku yang sudah terlambat 3 hari habis masa pinjaman ke perpustakaan, dan tentunya saya harus membayar denda. Satu - satunya sumber air untuk melepas dahaga ada di tempat ini.

Saya juga ingin menanyakan cara memperbaharui pinjaman secara online kepada petugas counter. Karena sistem database perpustakaan dan sistem database portal kampus sangat berbeda. Entah mengapa sistem ini tidak menjadi satu. Petugas kaunter juga nampak sangat kebingungan ketika memasukkan username dan password saya, karena saya memiliki 2 paspor; paspor lama dan paspor baru. Berulangkali petugas kaunter menelepon petugas bagian IT.

Username dan password biasanya ada di kartu mahasiswa kita. Username yang digunakan adalah nomer id kita, dan password yang digunakan adalah nomer passport. Sudah terlihat jelas disitu jika kita kehilangan id, maka orang lain bisa memasuki portal kita.

Lebih dari 40 menit ibu petugas kaunter menjelaskan secara pelan - pelan cara memperbaharui buku secara online. Waktu yang sangat lumayan untuk mendinginkan kepalaku di suhu yang lebih rendah. Perbedaan suhu antara diluar dan didalam sangat ekstrim, tidak dapat dipungkiri kebanyakan dari kita langsung terkena "pilek kilat" setelah keluar dari perpustakaan ini.

Saya teringat dengan urusan visa di kantor CIAC (Center for International Affairs and Cooperation), kantor sebelah perpustakaan kampus. Masalah visa dan segala urusan Internasional berada di kantor ini. Minggu kemarin, visa saya sudah mencapai 90% setelah saya cek di website EMGS (Education Malaysia Global Services).

Kantor yang kecil di lantai 2 dengan ruang tunggu sekitar 2x4 meter, tak jarang banyaknya mahasiswa yang datang ke tempat ini harus menunggu diluar yang telah disediakan kursi tambahan. Sudah berulang kali saya bolak - balik ke tempat ini menanyakan kejelasan visa saya.

Ketika saya datang di tempat ini, ruang dalam sudah dipenuhi banyak orang. Jadi, saya memutuskan untuk menunggu dibawah dengan melihat nomer antrian di layar.

"Bagaimana visa kamu? Visa kamu sudah jadi? Sudah ke CIAC?", pertanyaan inilah yang sering muncul antara mahasiswa Internasional.

Setiap orang yang mendengar kata CIAC, khususnya orang internasional, dipikiran mereka selalu buruk. Seakan tempat tersebut adalah tempat yang banyak salah. Saya terkadang tersenyum mendengar kata yang keluar dari teman - teman setelah menanyakan tentang CIAC.

Tempat itu memang bukan tempat memohon segala urusan masalah antara Tuhan dan hambaNya, seperti Masjid dan Gereja atau tempat ibadah lain. Tempat dimana orang memohon mati - matian untuk selembar stiker kecil yang akan ditempelkan di salah satu halaman paspor kita untuk tinggal di negara ini setahun lebih lama.

Tak jarang kalimat - kalimat 'kotor' keluar dari berbagai bahasa berada di tempat ini. Merubah orang sabar menjadi pemarah, orang putih memerah, dan orang hitam membiru. Dari intonasi suara yang lembut hingga terdengar seperti speaker dolby stereo yang sudah jebol. Pengulangan pertanyaan dan jawaban sering terdengar disini. Mungkin tempat ini memang harus di ruwat,istilah orang jawa untuk membuang kotoran dari dalam diri.

Apa ada yang salah di tempat ini?

Ya! Visa tak kunjung keluar!

Petugas kaunter hanya dua, dan lebih sering hanya satu. Seorang pemuda sabar berumur 20 tahunan yang selalu menerima aduan dan cacian. Membayangkan populasi manusia yang berasal dari Internasional di kampus ini lumayan banyak dengan dilayani dengan 2 orang pemuda - pemudi yang mental sudah terbentuk seperti baja.

Mungkin sebelum CIAC membuka lowongan pekerjaan untuk siapa yang akan bekerja di tempat ini, salah satunya harus bermental baja dan harus bisa mengulang jawaban, maaf saya belum menerima paspor dari imigrasi.

Saya terkadang tidak mau ikut - ikutan menyalahkan terus staff kantor tersebut. Menyalahkan dengan emosi tentu tidak menyelesaikan masalah ini. Pernah membaca salah satu buku, psikologi manusia yang selalu dimarahi dan ditekan akan selalu bertahan. Saya mencoba melembutkan pertanyaan saya kepada dia.

"Abang, kapan visa saya jadi? Ini sudah 1 minggu 'katanya' di imigrasi, saya harap besok bisa keluar visanya", saya melembutkan suara, terlihat jelas muka dia yang sudah lelah terkena serangan fajar dari pagi.

"Oh iya, coba kamu datang besok minggu ya, karena ada staff kami yang ambil dari sana. Siapa tahu visa kamu keluar", abang itu memastikan.

Bulan Juli dan Agustus adalah musim liburan di kampus. Tentunya, sebagian mahasiswa Internasional yang ingin menghabiskan masa liburan dan hari raya Idul fitri ingin bersama keluarga di kampung halaman.

Kebanyakan dari mereka yang sempat ragu kapan keluar visanya, bisa mencabut proses itu sementara, dan melanjutkan ketika mereka sampai di Malaysia di bulan September. Karena kebanyakan dari mereka sudah membeli tiket pesawat, jadi melanjutkan proses itu nanti adalah pilihan terbaik. Saya tetap memilih bersabar menunggu visa ini keluar.

Terkadang orang staff tersebut memang teledor. Mereka bilang proses sedang berjalan, tetapi mereka tidak sedikit pun menyentuhnya. Bagaimana bisa keluar, kalau orang ini tidak memproses datanya?

Berbagai jurus tipuan saling dilancarkan dari kedua belah pihak. Staff berargumen kalau saat ini sedang diproses, dan mahasiswa beragumen akan pulang malam nanti dengan menunjukkan tiket pesawat yang sudah dimodifikasi. Dan tak jarang jurus yang mahasiswa lancarkan itu berhasil membuat staff tersebut kalah, dan mengeluarkan surat ampuh untuk diserahkan ke Imigrasi yang jadi hanya dalam 2 jam.

Ada juga pasangan dari negara yang bertetangga di Asia Tengah yang sedang asyik terkena syndrom "The Power of Love" membela pasangannya yang sudah jelas itu salah yang sudah melewati izin tinggalnya, masih mengancam akan pergi langsung ke Imigrasi tanpa melalui kantor tersebut. Benar - benar bodoh menurutku.

Bagaimanapun juga kita harus mematuhi tempat negara kita tinggal, ini bukan negara kita. Berbeda aturan? jelaslah berbeda dan kita harus mematuhi. Seperti tamu menghormati tuan rumahnya. Ini hanya visa Malaysia, bagaimana cerita Agustinus Wibowo seorang traveler yang berjuang mendapat visa Pakistan seperti memasang taruhan di meja judi?
Share:

Thursday, 2 July 2015

Mahasiswa: UUM Family Day A142

Tari Rantak dari Padang

Persatuan Pelajar Indonesia Universiti Utara Malaysia (PPI-UUM) kembali menghadirkan kegiatan dua kali dalam setahun, yaitu Family Day. Kegiatan ini diadakan untuk menyambut para mahasiswa baru kemasukan sesi 2014 semester 2 (A142) di kampus kita tercinta ini, bukan hanya untuk mengenal lingkungan kampus tetapi untuk mengenal satu sama lain, antara mahasiswa baru dan mahasiswa lama serta dosen yang sudah lama menetap.

Kegiatan yang diadakan pada Sabtu malam kemarin (14/3/2015) berlangsung sangat meriah. Dengan kehadiran tamu khusus dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Penang, para dosen, Presiden UUM International Student Society (ISS) Joe Sandy, serta para tamu internasional dari berbagai negara yang berkenan hadir di Dewan Tan Sri Othman (DTSO).

Acara di buka dengan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” sebagai pembangkit rasa nasionalisme di antara WNI yang hadir dan hymne kampus UUM “Biru Warna” untuk memberikan kesan dan pesan serta amanat kepada para mahasiswa UUM. Dilanjutkan dengan sambutan ketua pelaksana Family Day, Silim dan ketua PPI UUM Akita Arum Verselita.
Ketua pelaksana Family Day A142, Silim
Bapak dari KJRI Penang menyampaikan beberapa poin penting kepada para tamu yang hadir. KJRI Penang mempunyai dua tugas utama yaitu memberikan perlindungan kepada para WNI dan hubungan diplomasi dibidang ekonomi. Dengan banyaknya jumlah pelajar Indonesia di UUM ini yang hampir seperenam jumlah pelajar internasional, beliau juga menekankan untuk menunjukkan kepribadian yang tinggi terhadap pelajar Internasional dan lokal yang lain. Dan tak lupa untuk menjaga amanah orang tua, diri sendiri, agama serta nusa dan bangsa. Beliau juga tak lupa berpesan untuk pandai – pandai menyesuaikan diri sendiri di negeri orang dan jangan lupa untuk terus beprestasi di bidang akademik dan non-akademik.

Acara dilanjutkan dengan pelantikan Pengurus Harian (PH) PPI UUM periode satu tahun ke depan, semoga para PH yang baru dapat menjalankan tugas dan amanahnya untuk para warga Indonesia di UUM.

Tema acara tahun ini adalah Batik. Acara ini tidak lengkap apabila tidak ada malam kebudayaan, karena budaya adalah hal yang sangat melekat di hati orang Indonesia. Acara malam juga kemarin diisi oleh penampilan band akustik harmoni dan band beast menyanyikan lagu khas Indonesia “Yamko Rambe Yamko” dan “Kangen” serta lagu Indonesia lainnya. Untuk tarian, para mahasiswa menampilan “Gending Sriwijaya” dari Palembang sebagai tarian penyambut tamu dan tari “Rantak” dari Padang.

Batik
Acara ditutup dengan penampilan mahasiswa baru A142 dan pemberian hadiah pemenang outbound. Semoga dengan berakhirnya acara kemarin, para mahasiswa saling mengenal satu sama lain. Seperti kata Mattie Stepanek, “Persatuan adalah kekuatan, ketika ada kerja sama tim dan kolaborasi, hal indah dapat dicapai".

link foto ada disini
Share:

Mahasiswa: 3 Perempuan, 2 Negara dan 1 Hari (2)

Antrian imigrasi untuk masuk ke Thailand yang memanjang sejak pagi.





Sesampainya di imigrasi, saya terkejut melihat antrian yang sudah sangat panjang. Mayoritas mereka yang ingin masuk ke Thailand adalah para perantau yang ada di Malaysia. Karena hari itu adalah hari Sabtu, sangat wajar apabila antrian imigrasi sangat panjang.

Sebagian dari mereka adalah para pelancong yang melintasi Singapore-Malaysia-Thailand. Sebagian etnis dari cina Singapore menggunakan bus 3 negara yang sudah menunggu mereka di depan pintu kedatangan.

Saya memutar otak untuk bisa masuk ke Thailand dengan cepat. Saya melihat ada loket yang kosong, dan itu tertulis "Untuk Warga Thailand". Saya berpura - pura untuk bertanya dimana saya mendapatkan kartu tanda masuk. Kartu tersebut harus diisi untuk informasi terkait kunjungan kita di Thailand.

Setelah saya mendapat kartu tersebut, saya pun mengisi semua identitas terkait. Namun, ada satu yang membuat saya berhenti mengisi, yaitu "Dimana saya akan tinggal?". Seketika, teman saya Miskah membantu mengisikan alamat yang setelah saya tanyakan itu adalah alamat rumah dia. Saya tidak peduli rumah siapapun itu, yang paling penting adalah untuk masuk Thailand yang sudah di depan mata.

Karena loket tersebut adalah untuk warga Thailand, ketiga teman saya itu langsung antri di loket. Saya yang 'bule' pun ikut mereka, dan semoga petugas tidak memarahi saya nanti.

"Swadikap!" sapa wanita berusia sekitar 50 tahunan dan saya pun membalasnya

Mungkin karena aksen yang berbeda, ibu tersebut langsung mengerutkan dahi sebagai bentuk keheranan kenapa saya ada di loket ini. Dan saya pun senyum dengan memberikan paspor Indonesia saya.

"You are Indonesian? kamu orang Indonesia?" jawab dia,"Tunjukan uang cash minimal RM 2000 ringgit."

Saya pun terkejut mendengar perintah ibu tersebut. "What for madam? untuk apa madam?" saya menanyakan.

"Ini sudah regulasi Thailand untuk orang Indonesia dengan menunjukan uang tersebut sebelum masuk Thailand", ibu itu menjelaskan dengan bahasa Inggris yang berantakan.

Mungkin maksud dari ibu tersebut bukan untuk orang Indonesia saja, tetapi untuk para pelancong dari negara - negara ASEAN. Tidak usah khawatir, hanya menunjukkan saja. Dan kita sudah mendapat visa selama sebulan melancong.

Saya pun kebingungan, bagaimana mengatasi masalah ini, ditambah bahasa ibu tersebut yang sudah berantakan. Saya pun menyimpulkan secara tersirat dari setiap penjelasan yang dia jelaskan. Teman saya Miskah yang berada di belakang saya secara spontan menjelaskan kepada ibu tersebut dengan bahasa Thai. Saya hanya melihat mereka di depan loket saling beragumen dengan bahasa 'alien'.

"Ah, Student? Pelajar?" ibu tersebut langsung melihat saya.
"Yes!" saya tersenyum ramah.
"Berikan kartu pelajarmu kalau kamu memang pelajar!" dia tersenyum dan saya memberikan kartu pelajar.
"Baiklah, kamu berdiri di situ dan menghadap ke kamera. Oh ya! Jangan lupa untuk mengangkat kartu pelajarmu itu juga"

Terkadang kita memang tidak harus mengikuti birokrasi yang berlaku. Birokrasi terkadang membuat sesuatu yang mudah menjadi sulit. Tetapi, kita harus tahu konteksnya mengikuti birokrasi yang berjalan supaya 'aman'.

Kenapa kita harus menunjukan RM 2000? Itu untuk menjamin bahwa kita yang datang sebagai pelancong memberikan pendapatan bagi negara dengan uang yang kita bawa, bukan datang untuk menyusahkan negara tujuan. Dan untuk itulah fungsi dari negara, menjaga kedaulatannya. Yang perlu kamu lakukan ketika di posisi ini adalah tetap tenang dan tidak panik.

"Pai! Selamat Datang di Thailand!" Ibu itu tersenyum
"Kop Khun kah! terima kasih" saya membalasnya

Akhirnya !

Miskah dan Tuan
Mereka baru tersadar kalau hari ini adalah hari sabtu, yang tentunya tujuan utama kita adalah kantor imigrasi di Songkla tutup. Pilihan alternatifnya adalah jalan - jalan ke Hatyai.

Transportasi disekitar perbatasan adalah dengan menggunakan van. Tarif ke Hatyai sekitar 480 Baht (RM 5 = Rp. 18,000) dan perjalanan ditempuh sekitar 1 jam.

Kita mampir dirumah makan sekitar perbatasan dan penukaran uang Baht juga ada disampingnya. Mereka belum sarapan pagi ini. Untuk saya, 2 lembar roti dan 1 telur sudah berada di perut yang sudah saya makan ketika di asrama. Saya sudah terbiasa tidak makan banyak ketika bepergian, untuk menanggulangi "panggilan alam" yang secara tiba - tiba.

Kita mengunjungi 3 tempat di Hatyai, yaitu Central Festival Mall, pasar tradisional, dan GreenWay. Mall mungkin sudah banyak tersebar di Surabaya, yang berbeda di dalamnya hanya bahasa dan makanan. Makanan disini susah untuk mencari kehalalan-nya. Kita sebelum membeli, harus mencari gambar halal terlebih dahulu. Kita memutuskan untuk makan di pasar tradisional yang penjualnya adalah orang muslim dari Narathiwat, salah satu provinsi di Thailand.

Malam hari setelah isya', kita kembali ke kampus. Ada yang menarik ketika saya sholat di sekitar perbatasan. Surau atau musholla terdapat di luar loket, berarti saya sudah meninggalkan Thailand setelah menerima stempel keluar. Toiletnya ada di area dalam Thailand.

Setelah sholat, saya baru ingat tas kecil saya tertinggal di toilet dan pastinya saya harus masuk Thailand lagi melalui jalan kecil disamping loket. Dan tidak ada petugas yang berjaga disana. Mungkin inikah jalur tikus yang biasanya digunakan orang untuk berbuat jahat?

Sarapan pagi ala Thai

Van ini yang akan mengantarkan kita ke Hatyai


Di dalam van plus musik yang stereo.
Khadijah, Tuan dan Miskah

Tuk-tuk, kendaraan pickup yang mirip angkot

Tuk-Tuk


Yen Tafow, Makanan ini rasanya mirip bakso dan sedikit asin.
Makan siang

yang khas dari restaurant Thai, 4 bumbu ini selalu ada.

Lorong

Potret kehidupan di jembatan penyebrangan di Hatyai

Pasar tradisional

Suasana luar

Ibu penjual sayuran

Suasana pasar di sore hari

Bejalan di depan masjid


Suasana jalanan Hatyai di sore hari
Uang Baht yang tersisa

Greenway, sejenis pasar bekas di Thailand

Salah satu tempat beribadah umat Buddha


Share: