Saturday, 8 August 2015

Mahasiswa: Dipertemukan Oleh Janji


Aku masih ingat pertemuan pertama kami sekitar empat tahun lalu di salah satu kampus bersejarah bernama Albukhary International University. Di tempat itu kami semua dipertemukan dan di tempat itulah cerita suka dan duka kami bermula. Berlatar belakang dan mimpi yang sama meskipun budaya, ras, etnis dan bahasa kami yang berbeda.

Sebagian dari mereka akan lulus tahun ini. Tiba – tiba terlintas untuk mengadakan buka puasa bersama para mahasiswa Indonesia eks AiU. Segera aku berdiskusi dengan teman yang lain untuk menentukan dimana tempat yang cocok.

Rencana awal bertempat di Warung Penyet KL Sentral yang sejak awal aku datang ke kota ingin mencoba masakan disana. Katanya masakannya enak dan khas Indonesia. 

“Eh kalau kita makan disana, kita harus booking tempat dulu”, Roza menyarankan, “biasanya kalau bulan ramadhan, disana sudah tidak ada tempat.”

“Baiklah, besok aku yang akan booking tempat”, Roza menambahkan.

Memang untuk menyatukan cerita lama menjadi satu kembali, jujur saja agak susah. Mungkin karena kesibukan masing – masing dengan tugas dan kelas yang padat, peluang untuk bertemu sangat tipis. Aku hanya berharap semuanya untuk hadir di acara itu. Mungkin saja setelah lulus, aku tidak bisa menemui mereka lagi secara tatap mata.

“Ping!!!” suara bbm masuk dari Dewi.

“Udah penuh nih, ada opsi tempat lain ga?” dia menanyakan kepadaku. Sepertinya dia bertanya pada orang yang salah. Aku memang bukan tinggal di Kuala Lumpur selama kuliah, jadi menanyakan hal itu sangat sulit untuk kujawab secara spontan.

Mengandalkan internet rumahan untuk mencari tempat makan favorit, benar – benar sangat membingungkan. Disamping karena beberapa hal seperti kenyamanan tempatnya dan rasa makanannya yang enak, aku juga harus memperhatikan urusan kantong keuangan mahasiswa rantau yang serba tipis.

“Setauku sih di Pasar Seni de. Soalnya, pernah lihat makanan ada yang serba Indonesia di Food Court-nya”

Grup AiU-Indonesia di Facebook yang sejak pertama sudah ramai membicarakan acara ini sontak setuju dengan tempat yang saya usulkan. Mungkin karena aku satu – satu-nya tamu dari jauh atau memang tidak ada tempat lagi akhirnya mereka menyetujuinya. Entahlah. Yang paling penting adalah terlaksananya acara ini.

Dengungan mesin kendaraan dan asap mengepul sudah menjadi ciri khas ibu kota yang selalu macet. Antrian kendaraan yang sudah memanjang membuat minat untuk menumpang taksi turun drastis. Pengemudi taksi juga tidak akan mau mengambil penumpang disaat macet, membuat mereka rugi karena bahan bakar mereka terbuang sia – sia.

“Sudahlah, kita jalan kaki saja ke stasiun KTM! Taksi juga tidak akan mau naikin penumpang dengan jarak yang dekat”. Aku, Wahyu dan Serina memutuskan untuk jalan sembari bercerita tentang pengalaman masing – masing. Jarak ke Stasiun Serdang sekitar 2 km melalui jalan arteri.

Sungguh indah kejadian masa lalu terulang. Sedih, tawa, canda, suka dan duka entah apapun namanya, mereka sudah seperti keluarga keduaku di negeri rantau. Meski sering dibumbui konflik internal, itu menambah kesan jika pertalian persaudaraan kami masih tetap solid. Hanya hati yang bisa meluluhkan pikiran yang sudah mengeras seperti batu.

Jalan yang kita lewati bukan seperti kompleks perumahan dan bukan juga seperti perkampungan. Warna – warni rumah dan modelnya, bisa di lihat jika rumah hanya ditinggali untuk merebahkan badan. Rumah sebesar itu rata – rata sepi ditinggal para penghuni mencari rezeki di tempat yang super sibuk. Hanya kedai makan yang menyediakan daging babi terlihat seperti pasar karena ramainya pengunjung. Terlihat pria paruh baya sedang menikmati semangkuk sup berwarna oranye.

Beberapa meter dari kedai itu, hanya ada sebuah masjid kecil yang terlihat seperti surau / mushola diapit oleh rumah mewah. Kelihatan miris memang. Masjid ini setiap jumat akan membeludak dipenuhi para jamaah dari berbagai belahan dunia yang mayoritas adalah para ekspatriat yang tinggal di sekitar apartemen temanku itu. Jika sudah membeludak, para jamaah akan sholat diluar tanpa menggunakan alas. Hanya beralaskan aspal hangat jalanan. Bagiku, dengan keterbatasannya, ini yang akan menambah kesan khusuk waktu sholat. Serasa sholat di padang pasir yang beratapkan langit, beralaskan tanah dan pasir, dan bermandikan keringat. Sempurna!

Hanya seingatku sekitar 1.7 Ringgit dari Serdang menuju ke Stasiun KL Sentral dan 1 Ringgit tambahan untuk LRT menuju Stasiun Pasar Seni. Hanya antrian calon penumpang bus dan beberapa kendaraan saja yang nampak. Jalanan sore itu tidak terlalu banyak. Pasar Seni terletak diseberang jalan, dan sudah ada di depan mata.

Teman – teman sudah hadir dan sedang memilih makanan untuk berbuka. Saya lebih memilih menu bakso yang dikombinasi. Aku pun juga tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya. Bakso atau sup atau soto? Entahlah. Hadirnya teman – teman sudah sangat bahagia dan makanan hanya sebagai pelengkap. Hadir sore itu Yazid, Mahara dan Cindy, mereka dari Aceh; Heny dan Ervin, teman angkatan saya dari Surabaya; Wahyu dan Nova + doi, mereka berdua dari Palembang dan Noni, yang seingatku dia mahasiswa Indonesia di UPM (University Putra Malaysia).

Kami menuju ke KLCC tempat dimana menara kembar itu berada. Insting pemudi akan fashion, membuat pemuda di sekitarnya menurut seakan telah di hipnotis oleh dewi yang agung. Ada yang ingin membeli sepatu karena sidang kuliahnya yang sudah dekat, ada yang ber-alibi belum membeli pakaian lebaran. Semua saling membangun argument yang intinya malam itu adalah belanja.

Manusia terus mengalir seperti sungai di sepanjang jalan. Begitu pula dengan uang mereka. Perputaran ekonomi sangat lah kentara. Mata manusia sudah ditutup dengan gemerlap produk brand terkenal dunia. Yang nampak hanya pasang – pasang kaki melintas. Sesekali mencoba, berkaca, dan tersenyum.

“Yang ini bagus tidak? Cocok tidak?” teman saya Serina bertanya. Dia dari tadi sangat antusias mencari sepatu untuk sidang skripsinya yang akan berakhir di tahun ini. Tempat itu bernama Vinnci. Menurutku itu hanya kedai sepatu yang hanya mengubah gaya marketing di kelas menegah ke atas saja.

“Ooh, bagus banget itu!” aku juga tidak tahu harus jawab apa. Yang terpenting membuat dia bangga dan senang, intinya tidak kecewa dengan barang yang sudah dia beli tadi. Secara saya juga awam masalah selera perempuan karena bukan desainer baju sekelas Ivan Gunawan.

“Ini nanti saya pasangin sama baju warna kayak gini trus celana ini!” Dia menjelaskan panjang lebar. Saya hanya memandang dia dan sesekali tersenyum. Apa yang dia bicarakan??

“Oh ya harganya berapa itu tadi?” sontak aku bertanya.

“Aku lupa tidak lihat harga tadi.” Dia tersenyum menunjukan gigi seakan tanpa dosa. Mungkin akibat euphoria karena menemukan sepatu favoritnya. Lupa akan ada tagihan listrik dan apartement. Mungkin pilihan lain adalah nyeduh untuk menekan biaya konsumsi.

Malam semakin larut. KLCC tetap dipenuhi oleh para wisatawan. Kita terlupa jika kereta terakhir berangkat jam 11 malam. Baru pertama kalinya kita ketinggalan dan kehabisan tiket seperti ini. Pilihan lainnya untuk pulang harus berlari mengejar kereta terakhir yang akan menuju ke Stasiun Bukit Jalil.

Malam yang sepi, diterangi oleh sinar bulan dan lampu dari kendaraan yang silih berganti. Sopir taksi yang berkepala botak berada di sampingku bermata sayup tanda dia sudah lelah seharian bekerja. Suara taksi butut yang sudah kehilangan beberapa baut dan dinginnya AC menghipnotis kami. Saya hanyut dalam letih dan bangga, telah bertemu janji dengan teman lama.

(Bersambung)
Share:

Wednesday, 29 July 2015

Cause and Effect of Air Pollution



Air pollution is commonly a great issue now, and is something that we cannot really ignore from it. Whenever we go most of people always talk about this problem and the solution. This is proof at the moment when we step out from our door and greeted with black smog from cars that hits us directly. Reminding us, the air that we breathe everyday contains of several or more “evil-substances”. Breathing clean air is more of dream, and it is so easy for us to endlessly rant and rave about the causes of air pollution and it is ill effects, but little do we realize that each person is responsible for the situation that we face today. Generally, air pollution is caused by two factors: human-made and natural.
Human is the main control of our world and become worse nowadays. As we can see, all the problems start from human-nature that they have desire to find something new. First, gas emission of transportation and factories are the leading causes of air pollution and it contributes 60 – 70 percent pollutants in the world. The emissions combustion engines include carbon dioxide (CO2), carbon monoxide (CO), hydrocarbons (HCs), methane (CH4), particulate matter (PM), nitrogen oxides (NOx) and more than 1000 evil-compound. And it happens now in our society, everyone does not aware about that. Second thing is caused by disturbance biological system which people do is very worst instead. Because of over desire that people have to fulfil their desire, they open “green place” become bald. As we can see at the mountain, they are falling down the trees unthinkingly even nothing left. This adds to the cause of this problem so difficult to overcome because human greed.
Another cause of air pollution is caused by natural activities that produce foreign substances.  Some of people do not aware about cause of natural pollution; they think that only human can make the problem of air pollution. Air pollution from Volcanoes is one of the most important natural causes of air pollution are volcanic eruption. The most problematic gases emitted in a volcanic eruption include sulphur dioxide, carbon dioxide and hydrogen fluoride. Besides the volcanic gases, there is also volcanic ash. Volcanic ash can move hundreds to thousands of miles downwind from a volcano. Second cause by nature is forest fire; more than a hundred thousand hectares forest in the world are fires. That problem may happen because of thunderbolt attack dry trees in the summer. 
However, air pollution has big effect in our environments and societies. We can imagine what will happen in 20 years later, maybe we will not see the green place like park or we cannot breathe clean air. Spreading disease is very fast, we just regret about our nature and cannot turn back the time.
The main effect of air pollution is damage to our environment. Climate change or global warming will impact agriculture and food production around the world. Farmer has difficulties to predict when the time is rain, and when should they harvest their farm. Climate change is changing weather patterns and indirectly through changes in water and air, it can influential with our health. Evil substance which is engine waste makes respiratory disease, cardiovascular disease, throat inflammation, chest pain, and congestion.
Second effect of air pollution is migration and conflict; migration related to climate change is likely to be predominantly from rural areas in developing countries to towns and cities. Millions might be displaced by shoreline erosions, river and coastal flooding, or severe drought. Limited resources and resulting human migration could become source of political and military conflict. Low confidence in predictions of increased conflict due to climate change.
Air pollution is caused by two factors: human-made and natural. Human is the generally makes a big causes in the earth, and we cannot do anything with natural activities. Air pollution has effect mainly in global warming, health, and also societies such us: migration and conflict.
Share:

Mahasiswa: Ibu Kota

Setelah hampir 7 jam menyusuri jalanan ibu kota, papan “Selamat Datang di Selangor” sudah nampak di kaca bis sebelah kanan. Jarum jam di arloji menunjuk angka 18.07 waktu Malaysia.

Gedung pencakar langit KL (Skyscrapers)
Saya yang dari awal sudah berselimut jaket menikmati tidurku dibawah naungan suhu dingin di dalam bis. Mata ini hanya mengintip sesekali di jendela, antara kemalasan dan keletihan di perjalanan serta akibat perubahan jadwal tidur di malam hari. Melihat suasana khas jalanan ibu kota yang identik dengan kemacetan yang parah.

Suasana jalanan di sore hari

Kadang terlintas pemikiran tentang jalanan sebesar dan sebagus itu masih terkendala macet. Bagaimana nasib negara sendiri yang jalanannya tidak sebesar dan sebagus itu? Tidak ada yang mau disalahkan. Penyedia kredit menyalahkan infrastruktur yang “katanya” kurang, staff dan menteri tersindir menyalahkan penyedia kredit yang menyediakan cicilan murah sehingga membludaknya mobil dan motor.

Tidak akan ada habisnya jika saling menyalahkan tanpa menyediakan solusi. Kenapa tidak menyediakan transportasi masal? Mungkin saja terkendala dana dan kurangnya investor serta yang paling penting adalah mengubah kebiasaan orang “pribumi” untuk menggunakan transportasi masal itu.

Secepatnya saya menghubungi teman – teman dari kampus lama yang tinggal di Kuala Lumpur. Dengan kapasitas baterai yang sudah berada di zona merah, menghidupkan layanan internet saat ini adalah bencana. BBM dan aplikasi jejaring sosial serta kontak teman – teman berada di handphone itu. Kebetulan bus yang saya tumpangi tidak tersedia slot charging dibawahnya. Aduh, harus berpacu dengan waktu.

Sebelumnya kawan saya dari Comoros, Nidhoil sudah menawarkan untuk tinggal di apartementnya. Teman saya yang lain Yazid dari Aceh dan Wahyu dari Palembang juga mengundang untuk tinggal di tempatnya. Mereka bertiga kuliah di satu kampus APU (Asian Pacific University).

Tetapi dari semuanya tidak ada yang menjawab ataupun membalas pesan yang saya kirim. Ternyata, mereka masih ada kelas kuliah. Ada dua orang dari Surabaya yang sama – sama berangkat di tahun 2011 lalu, Heni dan Ervin, tetapi mereka berada di kampus lain yang agak jauh dengan kampus APU.

Saya hanya menghubungi Heni untuk menanyakan dimana letak warung khas makanan Indonesia di Stasiun KL Sentral. Hari itu, saya berencana ingin berbuka puasa khas makanan Indonesia sebelum ke Indonesia.

Bis yang saya tumpangi semakin mendekat di terminal Puduraya dimana ini adalah destinasi terakhir. Namun, saya belum menerima pesan dari ketiga teman saya itu.

Barisan sopir taksi sudah menunggu para penumpang di pintu bis. Saya merasa seperti artis Hollywood yang selalu ditanya kemana saya akan pergi. Paling tidak, dua sopir taksi akan mengawal saya beberapa langkah menanyakan pertanyaan itu. Setelah dua itu pergi, dua akan datang lagi. Kebanyakan dari sopir itu adalah etnis India daripada etnis Melayu dan Cina.
“Kawan saya sudah jemput abang”, jawabku singkat.

Bedanya disini, para sopir tidak memaksa seperti di terminal Purabaya. Saran saya bagi traveler pengguna taksi untuk selalu tahu kemana akan pergi. Jangan lupa sebelumnya untuk selalu membaca panduan di internet dan membuka Google maps. Mereka biasanya memasang harga yang berlipat untuk trek dekat, karena mereka berkeliling sebelum ke tempat tujuan. Dan jangan malu untuk bertanya kepada petugas.

Saya memutuskan untuk sedikit merebahkan badan di dalam terminal sambil menunggu teman saya itu membalas pesan. Saya ingat file peta KL yang diberikan oleh teman saya Nuredi. Masjid Jamek, masjid bersejarah dan terdekat denganku saat itu. Kira – kira 1 km berjalan kaki menyusuri jalanan KL di sore hari. Berteman hanya dengan tas backpack, bel bis kota dan debu yang menerjang.

Sudah terlihat panitia masjid sedang mempersiapkan makanan untuk buka puasa. Para jamaah berdatangan. Mayoritas yang datang adalah para ekspatriat dari Bangladesh, India dan para pekerja lainnya.
Dua jamaah dari Bangladesh

Ada kejadian unik ketika salah satu orang Melayu sebelah saya bertanya kepada dua orang Bangladesh depan saya.
“Apakah kamu muslim?”, tanya orang Melayu sebelah.
“Pastinya laah, pertanyaan macam apa itu?” salah satu orang Bangladesh itu membalas dengan angkuh.

Saya mencoba untuk mengklarifikasi pertanyaan orang Melayu sebelah dari pada terjadi hal yang tidak diinginkan. Di satu sisi, dua orang Bangladesh itu mukanya sudah masam.

“Bukan begitu adek, kebanyakan dari mereka itu kadang ada yang tidak tahu kalau makanan ini untuk muslim yang sedang berpuasa”, jelas orang Melayu tersebut.

“Tapi mereka kan dari Bangladesh dan hampir semua orang sana adalah muslim!”. Setelah itu saya menjelaskan kepada dua orang Bangladesh untuk mendinginkan kepala mereka yang sudah agak hangat.

Kata orang sebelah, menu hari ini adalah nasi ujang panas dimana kombinasi gulai ayam, potongan nanas + kurma dan nasi berwarna - warni terlintas seperti pelangi. Sebelum buka puasa, pembawa acara mengadakan ngabuburit kuis kepada para jamaah dan berhadiah RM 1 – RM 5. Barokallah!

Malam itu saya harus ke KL sentral untuk menuju ke Serdang menggunakan KTM, Kereta api Tanah Melayu. Yazid menjemput di stasiun serdang dan saya akan tinggal di tempatnya.
KL Sentral






Nasi Ujang Panas




Dari kiri Usman (Thailand), Nidhoil (Comoros), dan Roza (Indonesia, Aceh)
Jam di Dataran Merdeka

Share:

Monday, 6 July 2015

Mahasiswa: Menuju Ibu Kota

Lawang Sewu, pintu kamar asrama

Selama di bulan puasa dan di bulan ujian akhir ini, jadwal tidurku sangat berubah total. Siang menjadi malam, dan malam menjadi siang. Mungkin karena waktu disini yang serasa malam lebih pendek, atau hanya perasaanku saja.

Sholat tarawih berakhir sekitar pada pukul 22.00 dan berbuka puasa pada pukul 19.35 malam. Belajar selama 2 jam saja, saya sudah berada di hari lain. Belum lagi, buku catatan dan materi kuliah yang berlembar – lembar mengantri untuk disantap habis. Tidak ada rasa kantuk yang saya rasakan saat itu.

Sesekali, saya mengintip aplikasi browser untuk sedikit menghibur rasa jenuh karena berlembar – lembar kertas berada di atas meja. Jejaring sosial twitter yang selalu update setiap detik karena berita terbaru, facebook dengan segala curhatan warganya, dan berita lainnya dari dalam dan luar negeri menemani saya. Oh, besok siang adalah ujian terakhirku.

Tetapi saya beranggapan besok bukan ujian terakhirku. Terakhir untuk semester ini memang benar tetapi tidak untuk ujian hidup yang akan saya hadapi besok dan seterusnya. Tiga hari dari ujian itu, saya harus berkemas membersihkan kamar asrama meninggalkan kampus menuju ibu kota.

Memang setiap sesi semester berakhir, kita harus mengemas barang – barang kita dari dalam kamar asrama untuk ditempatkan di ruang penyimpanan. Tradisi ini membentuk kita untuk selalu berpikir kesekian kalinya dalam membeli barang. Berat tidaknya bagasi kita tergantung berapa banyak barang yang kita punya.

Nomaden adalah kata yang tepat untuk kita. Saya juga tidak mengetahui kemana saya akan tinggal di semester depan. Hanya Tuhan dan staff asrama yang akan menentukan. Informasi lanjutan akan berada di portal kampus.

Kehidupan berasrama memang sangat mengasyikan. Tinggal di ruangan berpenghuni 2 orang, bertetangga dengan mayoritas orang melayu, dan bertoilet luar yang memungkinkan kita berinteraksi dengan teman lain. Internet yang lumayan cepat dan listrik sudah gratis.

Menanggung masalah bersama karena ketidaktersedianya air di pagi hari dan terkadang listrik yang tiba - tiba mati sudah kami lewati. Itu adalah bencana besar buat kami. Memang tidak selalu terjadi, hanya sekali dua kali dalam setahun. Saya sangat menikmati itu.

Saya telah membeli tiket bis hari sebelumnya, dan akan berangkat pada pukul 10 pagi. Serangan insomnia telah terjadi, bukan akibat dari ‘demam panggung’ karena besok akan pergi tetapi karena pola tidur di bulan ini telah berubah. Saya memang sengaja bertahan untuk bangun sampai pukul 9 pagi. Rencana akan tidur di perjalanan.
Bus di pengisian bahan bakar.

Teman saya Huda, mengantarku berpacu dengan waktu yang mepet. ‘Serangan fajar’ juga menyerangku saat itu. Tak ada pilihan. Toilet yang layak berada di KFC seberang terminal.

“Potato wedges satu bang. Bungkus!” saya memesan.
“Hanya itu?” Staff KFC tersebut menanyakan.

Saya hanya butuh toiletmu. Kalaupun toilet ini gratis tentunya saya tidak akan membeli barangmu ini. Saya membeli karena terpaksa. Terlebih lagi saya sedang berpuasa. Huda sedang bersiap memberitahuku jika bis datang sambil bermain game COC.

Bis semakin jauh meninggalkan terminal. Seperti rancangan awal, saya tertidur pulas di kursi bis yang membawaku ke Kuala Lumpur. Melintasi mulusnya jalanan Malaysia yang entah kapan Indonesia akan sedikit berbenah, bukan hanya sekedar wacana.


(Bersambung). . .
Share: