Aku masih ingat pertemuan pertama
kami sekitar empat tahun lalu di salah satu kampus bersejarah bernama Albukhary
International University. Di tempat itu kami semua dipertemukan dan di tempat
itulah cerita suka dan duka kami bermula. Berlatar belakang dan mimpi yang sama
meskipun budaya, ras, etnis dan bahasa kami yang berbeda.
Sebagian dari mereka akan lulus
tahun ini. Tiba – tiba terlintas untuk mengadakan buka puasa bersama para
mahasiswa Indonesia eks AiU. Segera aku berdiskusi dengan teman yang lain untuk
menentukan dimana tempat yang cocok.
Rencana awal bertempat di Warung
Penyet KL Sentral yang sejak awal aku datang ke kota ingin mencoba masakan
disana. Katanya masakannya enak dan khas Indonesia.
“Eh kalau kita makan disana, kita
harus booking tempat dulu”, Roza menyarankan, “biasanya kalau bulan ramadhan,
disana sudah tidak ada tempat.”
“Baiklah, besok aku yang akan
booking tempat”, Roza menambahkan.
Memang untuk menyatukan cerita lama
menjadi satu kembali, jujur saja agak susah. Mungkin karena kesibukan masing –
masing dengan tugas dan kelas yang padat, peluang untuk bertemu sangat tipis. Aku
hanya berharap semuanya untuk hadir di acara itu. Mungkin saja setelah lulus, aku
tidak bisa menemui mereka lagi secara tatap mata.
“Ping!!!” suara bbm masuk dari
Dewi.
“Udah penuh nih, ada opsi tempat
lain ga?” dia menanyakan kepadaku. Sepertinya dia bertanya pada orang yang
salah. Aku memang bukan tinggal di Kuala Lumpur selama kuliah, jadi menanyakan
hal itu sangat sulit untuk kujawab secara spontan.
Mengandalkan internet rumahan untuk
mencari tempat makan favorit, benar – benar sangat membingungkan. Disamping
karena beberapa hal seperti kenyamanan tempatnya dan rasa makanannya yang enak,
aku juga harus memperhatikan urusan kantong keuangan mahasiswa rantau yang serba
tipis.
“Setauku sih di Pasar Seni de.
Soalnya, pernah lihat makanan ada yang serba Indonesia di Food Court-nya”
Grup AiU-Indonesia di Facebook yang sejak pertama sudah ramai
membicarakan acara ini sontak setuju dengan tempat yang saya usulkan. Mungkin
karena aku satu – satu-nya tamu dari jauh atau memang tidak ada tempat lagi
akhirnya mereka menyetujuinya. Entahlah. Yang paling penting adalah
terlaksananya acara ini.
Dengungan mesin kendaraan dan asap
mengepul sudah menjadi ciri khas ibu kota yang selalu macet. Antrian kendaraan yang
sudah memanjang membuat minat untuk menumpang taksi turun drastis. Pengemudi taksi
juga tidak akan mau mengambil penumpang disaat macet, membuat mereka rugi
karena bahan bakar mereka terbuang sia – sia.
“Sudahlah, kita jalan kaki saja ke
stasiun KTM! Taksi juga tidak akan mau naikin penumpang dengan jarak yang dekat”.
Aku, Wahyu dan Serina memutuskan untuk jalan sembari bercerita tentang
pengalaman masing – masing. Jarak ke Stasiun Serdang sekitar 2 km melalui jalan
arteri.
Sungguh indah kejadian masa lalu
terulang. Sedih, tawa, canda, suka dan duka entah apapun namanya, mereka sudah
seperti keluarga keduaku di negeri rantau. Meski sering dibumbui konflik
internal, itu menambah kesan jika pertalian persaudaraan kami masih tetap solid.
Hanya hati yang bisa meluluhkan pikiran yang sudah mengeras seperti batu.
Jalan yang kita lewati bukan seperti
kompleks perumahan dan bukan juga seperti perkampungan. Warna – warni rumah dan
modelnya, bisa di lihat jika rumah hanya ditinggali untuk merebahkan badan. Rumah
sebesar itu rata – rata sepi ditinggal para penghuni mencari rezeki di tempat
yang super sibuk. Hanya kedai makan yang menyediakan daging babi terlihat seperti
pasar karena ramainya pengunjung. Terlihat pria paruh baya sedang menikmati semangkuk
sup berwarna oranye.
Beberapa meter dari kedai itu,
hanya ada sebuah masjid kecil yang terlihat seperti surau / mushola diapit oleh
rumah mewah. Kelihatan miris memang. Masjid ini setiap jumat akan membeludak dipenuhi
para jamaah dari berbagai belahan dunia yang mayoritas adalah para ekspatriat
yang tinggal di sekitar apartemen temanku itu. Jika sudah membeludak, para
jamaah akan sholat diluar tanpa menggunakan alas. Hanya beralaskan aspal hangat
jalanan. Bagiku, dengan keterbatasannya, ini yang akan menambah kesan khusuk
waktu sholat. Serasa sholat di padang pasir yang beratapkan langit, beralaskan
tanah dan pasir, dan bermandikan keringat. Sempurna!
Hanya seingatku sekitar 1.7 Ringgit
dari Serdang menuju ke Stasiun KL Sentral dan 1 Ringgit tambahan untuk LRT
menuju Stasiun Pasar Seni. Hanya antrian calon penumpang bus dan beberapa
kendaraan saja yang nampak. Jalanan sore itu tidak terlalu banyak. Pasar Seni
terletak diseberang jalan, dan sudah ada di depan mata.
Teman – teman sudah hadir dan
sedang memilih makanan untuk berbuka. Saya lebih memilih menu bakso yang
dikombinasi. Aku pun juga tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya. Bakso atau
sup atau soto? Entahlah. Hadirnya teman – teman sudah sangat bahagia dan
makanan hanya sebagai pelengkap. Hadir sore itu Yazid, Mahara dan Cindy, mereka dari Aceh; Heny dan Ervin, teman angkatan saya dari Surabaya; Wahyu dan Nova + doi, mereka berdua dari Palembang dan Noni, yang seingatku dia mahasiswa Indonesia di UPM
(University Putra Malaysia).
Kami menuju ke KLCC tempat dimana
menara kembar itu berada. Insting pemudi akan fashion, membuat pemuda di
sekitarnya menurut seakan telah di hipnotis oleh dewi yang agung. Ada yang
ingin membeli sepatu karena sidang kuliahnya yang sudah dekat, ada yang
ber-alibi belum membeli pakaian lebaran. Semua saling membangun argument yang
intinya malam itu adalah belanja.
Manusia terus mengalir seperti
sungai di sepanjang jalan. Begitu pula dengan uang mereka. Perputaran ekonomi
sangat lah kentara. Mata manusia sudah ditutup dengan gemerlap produk brand
terkenal dunia. Yang nampak hanya pasang – pasang kaki melintas. Sesekali mencoba,
berkaca, dan tersenyum.
“Yang ini bagus tidak? Cocok tidak?”
teman saya Serina bertanya. Dia dari tadi sangat antusias mencari sepatu untuk sidang
skripsinya yang akan berakhir di tahun ini. Tempat itu bernama Vinnci. Menurutku
itu hanya kedai sepatu yang hanya mengubah gaya marketing di kelas menegah ke atas
saja.
“Ooh, bagus banget itu!” aku juga
tidak tahu harus jawab apa. Yang terpenting membuat dia bangga dan senang,
intinya tidak kecewa dengan barang yang sudah dia beli tadi. Secara saya juga
awam masalah selera perempuan karena bukan desainer baju sekelas Ivan Gunawan.
“Ini nanti saya pasangin sama baju warna
kayak gini trus celana ini!” Dia menjelaskan panjang lebar. Saya hanya
memandang dia dan sesekali tersenyum. Apa yang dia bicarakan??
“Oh ya harganya berapa itu tadi?”
sontak aku bertanya.
“Aku lupa tidak lihat harga tadi.” Dia
tersenyum menunjukan gigi seakan tanpa dosa. Mungkin akibat euphoria karena menemukan sepatu
favoritnya. Lupa akan ada tagihan listrik dan apartement. Mungkin pilihan lain
adalah nyeduh untuk menekan biaya konsumsi.
Malam semakin larut. KLCC tetap
dipenuhi oleh para wisatawan. Kita terlupa jika kereta terakhir berangkat jam
11 malam. Baru pertama kalinya kita ketinggalan dan kehabisan tiket seperti
ini. Pilihan lainnya untuk pulang harus berlari mengejar kereta terakhir yang
akan menuju ke Stasiun Bukit Jalil.
Malam yang sepi, diterangi oleh
sinar bulan dan lampu dari kendaraan yang silih berganti. Sopir taksi yang
berkepala botak berada di sampingku bermata sayup tanda dia sudah lelah
seharian bekerja. Suara taksi butut yang sudah kehilangan beberapa baut
dan dinginnya AC menghipnotis kami. Saya hanyut dalam letih dan bangga, telah bertemu janji
dengan teman lama.
(Bersambung)